BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pelaksanaan
keagamaan Hindu tak pernah lepas dari simbolisasi nilai-nilai agama yang
diaplikasikan langsung ke dalam budaya lokal setempat daerah agama Hindu
tersebut berkembang. Agama Hindu merupakan agama yang ritualnya dihiasi dengan
sarana atau upakara. Ini bukan berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk
menghias pelaksanaan ritual. Pelaksanaan ritual dengan jenis upakara tertentu
memiliki makna dan tujuan tertentu sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan.
Demikian halnya yang terjadi di Bali, hampir sebagian besar dan bahkan secara
keseluruhan nilai-nilai agama itu menjiwai kebudayaan Bali. Darah seni
berkolaborasi dengan nilai religius keagamaan merasuk dalam nafas kreativitas
orang-orang Hindu Bali. Begitu pula dalam pelaksanaan yadnya, baik
sarana-sarana yadnya maupun hal-hal lainnya.
Upakara ritual agama Hindu di Bali kaya dengan jenis dan
bentuk upakara. Baik dari bentuk yang paling kecil dan sederhana, sampai yang
paling besar dan rumit. Sebagai contoh dalam pelaksanaan upacara keagamaan atau
dalam persembahyangan diperlukan beberapa sarana, seperti penjor, gebogan,
daksina, canang sari, dan sebagainya. Termasuk juga salah satunya berupa
“kewangen”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah
arti dari Kewangen ?
2. Bagaimanakah
bentuk dari Kewangen ?
3. Dimanakah
letak estetika dalam Kewangen ?
4. Bagaimana hubungan antara bentuk,estetika
dan fungsi Kewangen ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang
Agama Hindu merupakan agama yang
ritualnya dihiasi dengan sarana atau upakara. Ini bukan berarti upakara itu
dihadirkan semata-mata untuk menghias pelaksanaan ritual. Pelaksanaan ritual
dengan jenis upakara tertentu memiliki makna dan tujuan tertentu sesuai dengan
jenis yadnya yang dilaksanakan. Sengaja atau tidak, disadari atau tidak yang
jelas kehadiran upakara dalam ritual Hindu di Bali tampak indah atau mengandung
estetika.
Upakara
ritual agama Hindu di Bali kaya dengan jenis dan bentuk upakara. Baik dari
bentuk yang paling kecil dan sederhana, sampai yang paling besar dan rumit.
Sebagai contoh dalam pelakasanaan upacara keagamaan atau dalam persembahyangan
diperlukan beberapa sarana, seperti penjor, gebogan, daksina,dan
sebagainya. Termasuk juga salah satunya berupa “kewangen”. Kalau dikaitkan
dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara simbol “Omkāra”
(ý) (Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om” (ý) adalah huruf suci, singkat dan
mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa “kewangen” memiliki
bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum. Keharuman
”kewangen” ini adalah suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakti senantiasa
mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan.
Secara estimologi Kewangen itu
adalah kata jadian, kata dasarnya adalah WANGI, mendapatkan prefik Ka dan sufik
AN, maka menjadi; Ka + wangi +an = ka(e)wangian. i + a = e, menjadi Kewangen.
Oleh karena kata dasarnya itu WANGI, yang mana wangi itu identik dengan bau
yang disenangi dan bau yang dicintai, mungkin dibutuhkan oleh setiap manusia
yang normal (Kewangen), maka itu pula yang menyebabkan kewangen itu disebut dan
digunakan sebagai simbul yang dapat mewakili Tuhan dalam pikiran umat. Jadi
kesimpulannya Kewangen itu adalah simbul Tuhan juga disebut simbul dari huruf
Ongkara (hurup Bali) yang juga disebut simbul Tuhan dalam bentuk huruf.
Keberadaan “Kewangen” sangat penting
dalam upacara persembahyangan karena memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu
Tuhan Yang Mahaesa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sebagai simbolik Tuhan (Ida
Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya “kewangen” dibuat dengan bentuk yang
indah dari bahan-bahan yang indah juga dan harum. Hal ini dapat dimaknai bahwa
Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah indah, harum, dan suci sehingga
menarik untuk dipuja dan dimuliakan.
2.2 Bentuk Kewangen
Sebagai
simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki ukuran bentuk
yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti bunga
sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun
pisang, pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen
dan bunga-bunga harum yang ditusuk dengan biting. Semua bahan
tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan sisih
asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong.
Selanjutnya sampian kewangen, bunga-bunga harum, dan terakhir
adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi yang dilipat sehingga
mudah ditancapkan.
Sumber
: Dokumentasi Penulis
2.3 Estetika Kewangen
Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia baik sengaja
atau tidak, pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani
bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia
dalam kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan
bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya
manusia. Manusia tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena
keindahan sebagai penyeimbang logika manusia.
Keindahan
dan seni sebagai penghalus hidup manusia. Tanpa keindahan (estetika), hidup
manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh karena itu kahadiran
karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus rasa dalam
kehidupannya. Demikian juga halnya dalam simbol upakara ” Omkāra” dalam bentuk
”Kewangen” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika.
”Kewangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk
keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kewangen” yang merupakan sarana
dalam persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika).
”Kewangen ” sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan,
hendaknya membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusyuk dan nyaman
sehingga memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena
itulah ”kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan
suasana senang, suci, kusyuk dan nyaman dalam sembahyang.
Adapun
unsur-unsur keindahan dari kwangen serta komposisi keindahan kwangen yakni :
a) Unsur-unsur keindahan
Kewangen
Untuk
mewujudkan estetika “kewangen” diperlukan beberapa unsur yang mengandung makna
tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya keindahan (estetika)
pada bentuk “kewangen”.
Bahan-bahan Kwangen terdiri dari :
- Daun pisang
- Daun sirih, kapur sirih
dan buah pmang
- Sampian Kwangen
- Pis Bolong
- Bunga-bunga Harum
- Kembang Rampe
Cara Menatanya:
- Daun pisang dibentuk menjadi
sebuah kojong. Kemudian di dalarnnya diisi daun sirih, kapur sirih dan
buah pinang yang telah dibungkus oleh daun sirih.
- Selanjutnya sampian Kwangen
yang ada lidinya ditancapkan pada kojong itu di depan sampiannya. Di
bawahnya diisi Kembang Rampe. Tak ketinggalan pula
ditancapkan juga 'Pis Bolong'
Adapun
unsur tersebut antara lain:
1) Kojong kewangen
Kojong kewangen dibuat dari daun pisang, bagian
bawahnya dibentuk lancip, bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas
terlihat ada lekukan atau cekungan. Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah
seni bentuk (seni rupa) sehingga bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat.
Lekukan kojong kewangen melambangkan “Arda Candra”, badang kojong melambangkan
“Suku Tunggal”.
2) Plawa
Pelawa adalah sejenis daun-daunan (cukup
selembar), daun yang dimaksud bisa dari daun kemuning, daun pandan harum, daun
kayu (puring) atau daun sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketengan dan
kejernihan pikiran. Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga
dapat mendukung estetika “kewangen”.
3) Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih
yang digabung berhadaphadapan, ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang.
Porosan silih asih simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi
Wasa). Unsur ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kewangen”.
4) Sampian kewangen
Sampian kewangen berbentuk cili dari daun kelapa
(busung) dan dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Sampian kewangen sebagai
simbol “Nada”. Unsur ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika
kewangen. Sampian kewangen dari rangkaian tuesan/ rerunggitan daun kelapa yang
melambangkan rasa ketulusan hati, dibuat mengikuti unsur-unsur keindahan bentuk
dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta penataan yang
mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan menambah keindahan
(estetika) sebuah “kewangen”.
5) Pis bolong
Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang
yang diperlukan dalam upacara keagamaan umat Hindu. Uang kepeng melambangkan
sesari / sarining manah. Selain itu uang kepeng berfungsi sebagai penebus
segala kekurangan yang ada. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng
juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta
pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung estetika
dari “kewangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu penyatuan Siwa
Budha.
b) Komposisi keindahan
Kewangen
Komposisi
merupakan penataan unsur-unsur yang membentuk keindahan suatu karya. Komposisi
keindahan “kewangen” adalah menata atau menyusun unsur-unsur dari
“kewangen” itu sendiri, seperti: menata atau menyusun kojong
kewangen, pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian
kewangen dan bunga-bunga, sehingga menjadi bentuk yang indah dan menarik.
1)
Keseimbangan
Penataan
unsur-unsur “kewangen” dengan memperhatikan keseimbangan antara bagian
kiri dan kanan dengan menerapkan keseimbangan simetris, yaitu bagian kiri dan
kanan diusahakan unsur-unsurnya memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang sama.
Hal ini dilakukan agar “kewangen” tidak berkesan berat sebelah.
2)
Kesatuan
Penataan unsur-unsur
“kewangen” agar berkesan suatu keutuhan bentuk. Unsur yang satu menukung
unsur yang lainnya sehingga tidak ada kesan yang lepas atau terpisah antara
bagian-bagian dari “kewangen” itu sendiri. Penataan ini perlu dilakukan
agar pandangan orang terhadap “kewangen” terfokus pada keutuhan bentuk
“kewangen”.
3)
Irama
Penataan unsur-unsur
“kewangen” berdasarkan irama untuk menimbulkan keharmonisan bentuk
“kewangen”. Penataan ini dapat dilakukan dengan mengatur gradasi bentuk, ukuran
dan warna unsur, misalnya dari bentuk kecil ke bentuk yang lebih besar dan
kembali ke bentuk yang kecil, atau dari warna yang terang ke warna yang lebih
gelap dan kembali ke warna yang terang.
4)
Proporsi
Proporsi merupakan perbandingan
dalam penataan unsur-unsur pembentuk “kewangen” termasuk ketepatan
penempatan posisi dari masing-masing bagian-bagian dari
“kewangen”, seperti penempatan sampian kewangen pada bagian belakang, pis
bolong pada bagian depan, dan sebaginya. Penempatan unsur-unsur kewangen
yang tepat pada posisinya tentu akan mendukung keindahan bentuk “kewangen”.
2.4 Hubungan bentuk, estetika dan
fungsi
Bentuk
“kewangen” yang kecil dan mungil serta seolah-olah berbentuk segitiga
terbalik tentu telah memperhitungkan fungsi dari “kewangen” tersebut.
Fungsi yang dimaksud adalah saat digunakan untuk sembahyang, yaitu
“kewangen” dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan tepat
sejajar dengan ubun-ubun. Artinya “kewangen”nyaman digunakan saat sembahyang,
tidak susah dipegang, tidak mudah jatuh dan tidak mengganggu konsentrasi.
Keserasian antara bentuk dan fungsi
mutlak harus dikondisikan. Keindahan bentuk jangan sampai mengganggu fungsi dan
sebaliknya fungsi jangan sampai menganggu bentuk. Kalau diperhatikan, pada
bagian badan “kewangen” yang merupakan kojong “kewangen” dibuat polos
(sederhana) tanpa hiasan, hal ini untuk memudahkan dipegang (dijepit) pada
cakupan kedua telapak tangan. Demikian juga, keindahan bentuk jangan sampai
tergganggu akibat salah menggunakan atau memegang “kewangen”.
Keserasian
bentuk dan fungsi “kewangen” akan memberikan kepuasan bathin saat
memandangi estetika “kewangen”, seperti dapat menimbulkan kesenangan, menyejukkan
pikiran, dan kedamaian hati. Demikian juga saat digunakan untuk sembahyang
dapat memberikan kekusukan dan kesucian bathin.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Sesungguhnya
Kwangen atau Kuangen ini tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya
sarat makna simbolis. dimana Kwangen ini sebagai media bagi umat untuk
menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Kewangen tidak hanya dipakai
pada upacara persembahyangan saja tetapi juga dipakai pada upacara-upacara
lainnya umpamanya pada upacara Bhutayadnya. Kawangen ditempatkan di atas kulit
binatang (bayang-bayang) yang dipersembahkan. Pada upacara Devayadnya, Kawangen dipakai
melengkapi “pedagingan“, sedangkan pada upacara Pitrayadnya, Kwangen diletakkan
pada persendian-persendian seseorang yang sudah meninggal, ataupun pada puspa
(sekah). Rupanya fungsi Kawangen dalam hal ini adalah sebagai
“Pengurip-urip“. Disamping itu pada beberapa jenis sesajen akan dipergunakan
pula Kawangen sebagai pelengkapnya. Mengenai pemakaian uang
disesuaikan dengan fungsinya, yaitu bila dipakai
sebagai pengurip-urip sedapat mungkin dipakai uang kepeng, sebab
peranan uang dalam ha ini tidak hanya kepeng, tetapi juga sebagai pengganti
“Panca Datu” ( emas, perak, tembaga, besi dan permata ). Tetapi juga dipakai
pada upacara-upacara persembahyangan yang umum atau sebagai pelengkap sesuatu
sesajen, dapat dipergunakan uang logam, sebab yang diutamakan dalam hal ini
adalah bentuk yang bulat melambangkan Vindu.
Dapat disimpulkan estetika
“kewangen” nampak pada bentuknya yang kecil dan mungil yang tersusun atas
komposisi unsur-unsur yang indah dan bermakna simbolik serta dihiasi dengan
bunga-bunga yang harum. Keindahan (estetika) kewangen memiliki keserasian
bentuk dan fungsi sehingga nyaman digunakan pada saat sembahyang baik secara
fisik maupun bathin.
3.2
Saran
Ø Semoga makalah ini dapat berguna
sebagai bahan acuan dalam pembelajaran, khususnya pada pembelajaran terkait
dengan Estetika Hindu tentang Kewangen.
0 comments:
Post a Comment