Friday, October 2, 2015

ESTETIKA HINDU

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
            Yadnya adalah bagian yang sangat penting dari agama Hindu khususnya di Bali. Karena pelaksanaan ibadah umat Hindu di Bali tidak terlepas dari Yadnya. Yadnya merupakan salah satu wujud rasa syukur umat Hindu kepada Sang Pencipta. Yadnya terdiri dari tiga tingkatan yaitu, Nista, Madya, dan Utama Yadnya. Sedangkan jenis-jenis yadnya dapat dibedakan menjadi lima jenis, sesuai dengan kepada siapa Yadnya itu ditujukan yang lebih dikenal dengan Panca Yadnya, yang terdiri dari:
1.      Dewa Yadnya yaitu yadnya yang ditujukan kepada para Dewa
2.      Manusa Yadnya yaitu yadnya yang ditujukan untuk manusia
3.      Rsi Yadnya yaitu yadnya untuk para Rsi
4.      Pitra yadnya yaitu yadnya yang ditujukan untuk para leluhur
5.      Butha Yadnya yaitu yadnya yang ditujukan untuk para butha kala
       Dalam pelaksanaan Yadnya, ada beberapa pelengkap yadnya yang diadakan untuk mengiringi pelaksanaan Yadnya tersebut. Khususnya pada DewaYadnya, salah satunya adalah tarian sakral. Tari topeng Sidakarya adalah salah satu tarian sakral yang biasanya ditarikan sebagai pelengkap suatu Karya atau yadnya khususnya Karya Nyatur. Mengapa Topeng Sidakarya harus ditarikan dalam karya tersebut? Tentunya ada hal-hal yang harus kita gali dari Topeng Sidakarya. Pada kesempatan ini penulis akan mencoba menguraikan hal-hal mengenai Topeng Sidakarya.

1.2.Rumusan Masalah  
Dari latar belakang permasalahan diatas, dapat penulis rumuskan beberapa permasalahan yang akan dicari jawabannya, antara lain:
1.     Bagaimanakah sejarah Topeng Sidakarya, sehingga harus ada sebagai pelengkap di akhir sebuah Karya (yadnya)?
   2.      Bagaimanakah ritual pembuatan topeng dan bagaimana pula alur  tarian Topeng Sidakarya?
   3.      Nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang terkandung dalam tarian Topeng Sidakarya?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Topeng Sidakarya
      Sejarah Topeng Sidakarya diawali dari perjalanan seorang Brahmana yang bernama Brahmana Keling. Berikut adalah ringkasan dari perjalanan beliau. Pada jaman dahulu di suatu daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang sangat termashyur karena pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan Jiwa”.  Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari sebuah daerah yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman atau pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama Beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari daerah Keling maka beliau dipanggil dengan sebutan Brahmana Keling.
Ø  Perjalanan – Perjalanan Brahmana Keling
Dalam buku Babad Sidakarya karangan I Nyoman Kantun, S.H. MM dan Drs. I Ketut Yadnya terbitan PT Upada Sastra pada tahun 2003, diceritakan bahwa Brahmana Keling melakukan perjalanan ke Madura, Bali, dan terakhir menuju Badanda Negara atau Sidakarya sekarang. Berikut ini adalah riwayat perjalanan beliau.
a. Perjalanan Brahmana Keling ke Madura
Konon kerajaan Madura pernah lalai untuk menunaikan Saji Pepajegan yang merupakan upacara tarian persembahan kepada para Leluhur. Karena raja pada waktu itu kurang yakin terhadap akibat yang ditimbulkan apabila upacara tidak dilaksanakan, dan juga rakyat Madura kurang memperhatikan serta melupakan tradisi warisan dari generasi sebelumnya, akhirnya terjadi kekacauan di Kerajaan Madura. Mendengar peristiwa itu, Brahmana Keling lalu pergi ke Madura. Sesampainya beliau di Madura, Raja menjamunya selayaknya menjamu seorang Brahmana. Saat itu, beliau banyak memberikan nasihat – nasihat terutama untuk Sang Raja agar upacara yang Saji Pepajegan dilaksanakan dengan baik demi kesejahteraan rakyat. Awalnya Raja tidak percaya terhadap nasihat – nasihat yang diberikan oleh Brahmana Keling kepadanya, tetapi Brahmana Keling tidak putus asa begitu saja karena Beliau tahu bahwa Sang Raja selalu dihantui oleh rasa bimbang.
Supaya Sang Raja merasa yakin, Akhirnya Brahmana Keling memperlihatkan dan menunjukkan kekuatan batinnya dengan cara Pohon pisang yang sudah layu dan kering Beliau hidupkan lagi sehingga menjadi hijau dan subur kembali, Benang yang semula berwarna hitam dalam sekejap beliau rubah menjadi berwarna putih, dan hal – hal aneh lainnya yang Brahmana Keling tunjukkan pada Raja agar Sang Raja percaya padanya.
            Akhirnya Sang Raja terperangah dan terpesona melihat keajaiban yang Brahmana Keling tunjukkan. Sejak saat itu, Sang Raja sangat taat menjalankan petunjuk – petunjuk yang diberikan oleh Brahmana Keling, beliau juga ditunjuk untuk memimpin upacara di Madura. Setelah itu, upacara – upacara seperti tari saji pajegan berlangsung dengan lancar dan sukses. Keadaan kerajaan kembali aman dan tenteram. Oleh karena itu di Madura beliau dijuluki sebagai Brahmana Wasaka yang kira – kira berasal dari kata Wacika yang berarti ucapan atau perkataan dan Satya yang berarti kesatria atau kebenaran. Secara umum Brahmana Wasaka berarti apa yang beliau ucapkan selalu dapat dibuktikan kebenarannya (sidhi ngucap sidhi mandi). Beliau selanjutnya kembali ke Jawa Timur.
b. Perjalanan Brahmana Keling ke Bali
Sekembalinya beliau ke Jawa, dengan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, sampailah beliau di sebuah Desa bernama Desa Muncar. Di sini beliau beristirahat sejenak sambil menikmati keindahan panorama selat Bali. Tiba – tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayumanis) yang bercerita panjang lebar tentang keberadaannya di Nusa Bali. Ayah beliau juga bercerita tentang kerajaan Gelgel yang dipimpin oleh Dalem Waturenggong dan didampingi oleh Dang Hyang Nirartha sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra di Pura Besakih.
            Setelah pertemuan Dang Hyang Kayumanis dan Brahmana Keling, Sang Ayah melanjutkan perjalanan ke Pesraman di Jawa Timur (Daerah Keling) sedangkan sang Anak melakukan perjalanan ke pulau Bali menuju Kerajaan Gelgel.
Tak ada yang tahu tentang bagaimana perjalanan Brahmana Keling ke Bali. Sesampainya beliau di Gelgel, Kerajaan sedang dalam kondisi sepi dan beliau disapa oleh beberapa pemuka masyarakat yang ada di Kerajaan. Beliau tiba dalam kondisi lesu, lusuh, dengan pakaian yang kumal dan kotor. Ketika beliau ditanya tentang tujuan beliau ke Gelgel, beliau menjawab bahwa beliau ingin menemui saudaranya yaitu Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena orang yang ingin ditemui oleh Brahmana Keling tidak ada di Kerajaan, maka beliau dipersilahkan oleh pemuka masyarakat yang menyapa beliau untuk menuju ke pura Besakih sebab mereka sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra. Sesampainya beliau di pelataran Pura Besakih, beliau disapa oleh masyarakat yang sedang ngayah dan ditanyakan maksud kedatangan beliau. Brahmana Keling menjawab bahwa beliau ingin bertemu saudara beliau yaitu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Masyarakat tadi tidak percaya terhadap jawaban Brahmana Keling yang mengaku – ngaku sebagai saudara dengan Dalem junjungannya, bahkan masyarakat ini tersinggung karena menurutnya tidak mungkin Dalem junjungannya memiliki saudara yang penampilannya seperti pengemis. Tetapi Brahmana Keling tetap bersikeras dan beliau berhasil masuk ke dalam pura. Akhirnya mungkin karena kelelahan, Brahmana Keling langsung menuju ke pelinggih Surya Chandra dan duduk beristirahat untuk melepas penatnya. Tak berselang berapa lama, datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh ke atas pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya beliau. Karena murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang yang telah berani duduk di atas pelinggih Surya Chandra. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi memaksa untuk masuk dan beliau mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha. Tetapi tidak ada yang tahu mengapa tiba – tiba orang itu sudah ada di atas pelinggih Surya Chandra.
Bertambah murkalah Sang Prabu setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh prajurit tersebut. Sang Prabu lalu memerintahkan Rakyat dan semua pengayah untuk mengusir orang yang disangka gila tersebut. Karena saking mulianya hati sang Brahmana, beliau tidak melawan sedikitpun saat diusir oleh rakyat dan pengayah karena Sang Prabu sudah tidak mengakui beliau sebagai saudara lagi. Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Besakih, beliau mengucapkan kutukan yang berbunyi  “wastu tata astu karya yang dilaksanakan di pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bunga kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat gumitit (binatang kecil/hama) membuat kehancuran (ngerebeda) di seluruh jagat (bumi) Bali.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut Brahmana Keling yang bagaikan suara petir di langit yang cerah. Semua masyarakat menyaksikan dengan mulut menganga, terpaku tak berkutik sedikitpun. Lalu Brahmana Keling meninggalkan Besakih menuju Barat Daya.
Apa yang dikatakan oleh Brahmana Keling menjadi kenyataan hingga dalam suatu pertapaan yang dilakukan oleh Dalem Waturenggong, beliau mendapat pawisik yang mengatakan bahwa hanya Brahmana Keling saja yang dapat mengembalikan keadaan seperti semula, lalu Brahmana Keling dijemput oleh rombongan dari kerajaan Gelgel dan Brahmana Keling bersedia untuk menghadap Dalem Waturenggong di kerajaan Gelgel. Ternyata setibanya Brahmana Keling di Kerajaan Gelgel, beliau dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala, menjadi aman dan tentram. Sehingga beliau dianugrahi gelar Dalem Sidakarya.
Sebagai penghormatan dan kenangan dari peristiwa di atas, selanjutnya dari ketiga tokoh penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong yaitu Dalem Waturenggong sendiri, Dang Hyang Nirartha, dan Dalem Sidakarya, akhirnya Dalem Waturenggong memerintahkan Pasek Akeluddadah untuk pertamakalinya membuattapel atau topeng yang menggambarkan Sang Tiga Sakti atau ketiga tokoh yang berperan penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong. Menurut orang yang menulis buku ini, Akeluddadah berasal dari dua kata yaitu Akelud yang berarti penyucian atau pembersihan(pemarisudha) dan Dadah yang berarti air atau air suci(tirta). Jadi Akeluddadah berarti tirta pemarisudha atau penyucian segala bentukmala atau kotoran yang disimbolkan dengan topeng yang dipentaskan sebagai tarian sacral pada sebuah pelaksanaan upacara Yadnya. Karena I Pasek ini berjasa dalam membuat topeng Akeluddadah, maka beliau disebut dengan Pasek Akeluddadah. Namun topeng yang dibuat oleh Pasek Akeluddadah belum diketahui keberadaannya.
Demi kesempurnaan upacara Yadnya, sebagai penutup rangkaian upacara dipentaskan Tari Topeng Sidakarya yang dalam pentasnya dapat dibawakan dengan seorang diri (memajeg) atau ditarikan oleh lebih dari satu orang tergantung keadaan. Dalam Tari Topeng Sidakarya, tokoh penting yang ditampilkan adalah Tokoh Dang Hyang Nirartha sebagai Pendeta, Dalem Waturenggong sebagai Penguasa/Raja dan Dalem Sidakarya yang disebut sebagai Sang Tiga Sakti.
c. Perjalanan Brahmana Keling ke Badanda Negara(Sidakarya sekarang)
Singkat cerita sampailah Brahmana Keling di Badanda Negara yaitu di Desa Sidakarya sekarang. Badanda Negara berasal dari kata Badanda yang berarti Padanda atau pandan (pohon berduri) dan Negara berarti Wilayah, maka Badanda Negara berarti Pandan Negara atau suatu wilayah dimana banyak tumbuh pohon pandan dan sejenisnya. Di pesisir selatan kerajaan Badung banyak ditumbuhi dengan pohon pandan, jeruju, serta bakau, oleh karena itu  daerah pesisir ini lumrah disebut dengan Badanda Negara atau Pandan Negara. Di sana beliau membuat pesanggrahan / pesraman sebagaimana layaknya seorang Brahmin.
Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih, tidak berapa hari suasana jagat Bali terutama kerajaan Gelgel dan sekitarnya berangsur – angsur menampakkan situasi yang tidak mengenakkan. Seperti ucapan Sang Brahmana Keling dalam kutukannya, semua pohon – pohonan yang berguna bagi pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra di Besakih seperti kelapa, pisang, padi, sayuran, dan sebagainya semua layu. Buah – buahan berguguran, wabah dan hama seperti ulat, tikus, dan lain – lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman – tanaman petani. Bumi seketika menjadi kering kerontang, wabah penyakit (gerubug) menyerang penduduk. Terjadi pertengkaran antar pengayah yang disebabkan oleh hal – hal yang sepele, hingga keadaan menjadi kacau balau. Oleh karena itu, pelaksanaan karya urung dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti itu, Dang Hyang Nirartha diperintahkan oleh Dalem Waturenggong melakukan upacara pembasmian, bahkan dengan dilakukannya tapa semadi oleh Dang Hyang Nirartha seakan – akan tidak mempan, bahkan terkesan masalah semakin menjadi – jadi. Semua keadaan serba menyedihkan. Akhirnya Ida Dalem sendiri yang turun tangan. Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan Tapa Semadi di Pura Besakih. Beliau mendapatkan pewisik dari ida Betara yang berstana di Pura Besakih, bahwa Dalem Waturenggong telah berdosa karena mengusir saudaranya sendiri secara hina dan hanya Brahmana Kelinglah yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala.
Setelah mendapatkan petunjuk berupa pawisik, esok harinya Dalem Waturenggong langsung memanggil perdana menterinya yaitu Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) serta memanggil para patih lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan, dan lainnya termasuk para punggawa untuk mengadakan siding. Dalam Sidang tanpa agenda tersebut, diputuskan agar menjemput Brahmana Keling yang pernah diusir sebelumnya secepatnya karena hanya beliau yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Dikatakan juga bahwa beliau (Brahmana Keling) sedang berada di Badanda Negara yaitu di pesisir selatan Kadipaten Badung. PAda waktu itu yang menjadi Anglurah (Raja) di Badanda Negara (Badung) adalah I Gusti Tegeh Kori dari Dinasti Tegeh Kori.
            Singkat cerita berangkatlah rombongan yang ditugaskan untuk menjemput Brahmana Keling ke Badanda Negara. Pertama – tama mereka menuju Kerajaan Tegeh Kori untuk meminta petunjuk  lebih lanjut. Akhirnya mereka diarahkan untuk menuju Pandan Negara (Pesisir Selatan Kerajaan Badung yang menjadi Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di Pandan-Negara, bertemulah mereka dengan Brahmana Keling. Mereka langsung menghaturkan sembah sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud kedatangan mereka menghadap beliau. Sesuai dengan perintah Dalem Waturenggong, Brahmana Keling diminta untuk bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong sesegera mungkin. Sesudah mereka bercerita, Brahmana Keling mempersilahkan mereka untuk kembali ke Kerajaan Gelgel lebih dulu, Brahmana Keling akan menyusul kemudian.
Selain versi cerita di atas ada juga versi cerita lainnya tentang kedatangan Brahmana Keling ke Bali yang sedikit berbeda namun intinya tetap sama. Kisahnya konon terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk muput upacara ini. Tersebutlah pandita (brahmana) sakti dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu, tetapi ingin terlibat muput karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan antara Keling di Jawa dan Gelgel di Bali karena itu beliau datang. Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tanpa diundang ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Pandita Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak berhasil, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling untuk ikut muput upacara bahkan menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut pamuput Sidakarya.
Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah (terutama mulut) dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya.

2.2. Proses Tarian dan Ritual Pembuatan Topeng Sidakarya
Adapun ciri – ciri dari topeng Sidakarya adalah berwarna putih, bermata sipit, giginya agak maju (jongos), berwajah setengah manusia dan setengah demanik, berambut sebahu, memakai kerudung yang dirajah, dan penarinya biasanya membawa bokoran berisi canang sari, dupa, beras kuning, sekar ura, dan sebagainya sebagai symbol kedarmawanan. Penari topeng sidakarya lalu menari dangkrak – dingkrik dan dilanjutkan dengan menangkap penonton yang masih anak – anak lalu diberikan uang kepeng yang artinya kurang lebih sebagai perwujudan mengobati orang sakit serta memberikan kesejahteraan pada orang lain. Ini juga merupakan simbolis siklus kehidupan yaitu lahir, kecil, muda, tua, mati. Setelah itu penari mengucapkan (ngucarang) mantra yang isinya:
“Dadia punang ikang kalan nira, mijil Dalem Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja menala, gumeter ikang pretiwi apah teja bayu akasa, lintang tranggana ketekeng surya senjana metu aku saking Mutering Jagat Sudha butha kala liak, desti teluh trangjana pada nembah tanwani teken aku, apan aku mawak pemarisudha jagat. Sakuwehing mala, lara, roga, wigena pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang.”
Setelah nguncarang mantra tersebut dilanjutkan dengan menaburkan beras kuning yang menyimbulkan pemberian laba kepada para Butha Kala supaya tidak mengganggu ketentraman hidup manusia, serta menebarkan kesejahteraan pada umat manusia sehingga terwujud rahayuning jagat. Serta dibarengi dengan penebaran sekar ura yang merupakan symbol  medana – dana (bersedekah) . Dengan selesainya pementasan Topeng Sidakarya maka tuntaslah segala rangkaian pelaksanaan upacara Yadnya yang disebut “Sidakarya”.
Ø  Ritual pembuatan
Tak hanya sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan karena memang tak dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini lain dengan topeng-topeng yang dibuat dan dijual secara massal, seperti di pasar-pasar kerajinan atau pasar oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai dari pemilihan bahan kayu, ritual memulai memahat, pengawetannya, hingga ritual penghidupan topeng tersebut. Namun, jangan salah paham dengan adanya ritual penghidupan topeng ini. Penghidupan ini bukannya topeng tersebut kemudian bisa berbicara, melainkan dimaksudkan terasa lebih hidup dan menyatu dengan sang penarinya, yakni proses inisiasi (penyucian) dan pesupati (menghidupkan). Biasanya, si penari topeng Sidakarya yang telah mewinten memiliki satu topeng khusus untuk dirinya ngayah. Satu hal lagi, pembuat topengnya pun melewati tahapan mewinten. Ida Bagus Sudiksa (51), asal Banjar Jambe, Kerobokan Kaja, pun mengingatkan permintaan membuat topeng Sidakarya ini tidak bisa sembarangan meminta. Menurut dia, penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu menahan manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Ia beranggapan pendahulunya telah memikirkan bagaimana agar manusia tidak sembarangan menebang atas nama kesenian, budaya, atau adat. Karena itu, dari pemilihan kayu hingga penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta hari baiknya dengan tujuan agar alam tidak murka. Namun, ketika topeng sudah menjadi kerajinan yang dibuat secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih kayu itu sudah cukup umur sampai tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua demi kepentingan uang, bahkan pariwisata. Wajar jika kemudian alam menjadi murka. Inilah salah satu pesan topeng Sidakarya tentang alam. Waktu pembuatan topeng sakral ini pun bervariasi, tergantung dari mood sang pengukirnya, bisa hanya tiga hari atau sebulan. Sama halnya dengan Pak Nang Tesen, Sudiksa pun mendapatkan bakat keturunan dari almarhum ayahnya, Ida Pedanda Gede Telaga. Mereka ini bukan perajin, melainkan seniman yang telah melalui tahapan penyucian. Namun, bakat ini bisa dipelajari dan tidak semuanya mendapatkan dari garis keturunan.
Hal yang unik selama pembuatan topeng sakral, antara lain, adalah pengawetannya yang harus direbus dengan kuah bumbu genep (bumbu dapur lengkap) selama 12 jam tanpa putus.  Meski demikian, lanjut Sudiksa yang juga dosen manajemen pemasaran di Universitas Udayana itu, awet dan tidaknya topeng juga tetap tidak lepas dari awal pencarian kayu cendana, pole, atau batang kamboja, termasuk pemilihan tanggal penebangannya. Ia menambahkan, dari sejak ayahnya puluhan tahun lalu, semua pembuatan topeng menggunakan ilmu logika.
Sayangnya, bahan pengawetan alami ini tidak diikuti dengan pewarnaan alami. Sudiksa mengatakan, pewarnaan alami tidak lagi memiliki kualitas sama kuat antara puluhan tahun lalu dan sekarang. Karena itu, ia terpaksa menggantikan dengan cat kimia dengan pemilihan kualitas nomor wahid. Topeng sakral selain topeng Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng yang sengaja disakralkan dan biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda, Barong, dan Irarung. Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari atau waktu pementasan sendiri. Semua topeng sakral ini pun diberikan banten dan doa-doa, terutama ketika tumpek wayang, sebagai persembahan kepada Dewa Iswara. Di dalam topeng Pajegan ada topeng yang mutlak harus ada, yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng Pajegan dengan upacara keagamaan, maka topeng ini pun disebut Topeng WaliDramatari Topeng hingga kini masih ada hampir di seluruh Bali.

2.3. Makna Filosofis Topeng Sidakarya Ditinjau Dari Perspektif Pendidikan Hindu
Banyak sekali unsur mendidik yang kita dapat temui dalam Topeng Sidakarya. Baik dari sejarahnya, maupun dalam proses tariannya. Dalam sejarahnya, saat Brahmana Keling melakukan perjalanan-perjalanan mulai dari perjalanan ke Madura, ke Bali hingga ke Badanda (Sidakarya), banyak sekali bisa kita temui aspek-aspek mendidik yang secara inplinsif mengandung pesan-pesan mulia kepada kita sebagai manusia khususnya umat Hindu. Seperti pada awal perjalanan beliau ke Madura, yang disebabkan karena raja di wilayah tersebut telah melupakan tradisi persembahan tarianPepajegan yang biasanya dipersembahkan untuk para leluhur. Dari sini kita bisa belajar bahwa kita tidak boleh melupakan tradisi yang diwariskan oleh para leluhur kita meskipun kita sekarang telah memasuki jaman modern. Tradisi leluhur harus tetap dijaga dan dilestarikan karena itu adalah warisan yang sangat berharga untuk kita yang tidak bisa kita temui di tempat lain. Dan kita juga harus selalu mengingat para leluhur kita yang telah mewariskan beraneka ragam kearifan lokal yang saat ini menjaga kebanggaan kita yang sekaligus membedakan kita dengan daerah lain.
Dilanjutkan dengan saat beliau mendatangi Bali dengan maksud untuk ikut membantu pelaksaan Karya Eka Dasa Ludra yang diselenggarakan oleh Raja Dalem Waturenggong (Kerajaan Gelgel) yang masih saudaranya di Pura Besakih. Raja Waturenggong tidak mau mengakui Brahmana Keling sebagai saudara karena penampilan beliau yang lusuh seperti pengemis akibat dari perjalanan jauh yang beliau tempuh. Hal itu membuat brahmana tersebut merasa terhina, dan akhirnya pergi dari tempat itu. Dan tentunya dampaknya adalah Karya yang diadakan oleh raja tidak memberi berkah terhadap kerajaan maupun rakyatnya, malah terjadi kekeringan dan bencana yang melanda wilayahnya. Dari kejadian tersebut kita bisa petik hikmah dan pembelajaran bahwa kita tidak boleh memperlakukan sesama ciptaanNya dengan tidak baik. Semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan. Walaupun berbeda kedudukan, status ekonomi maupun status sosial. Janganlah memandang orang dari penampilannya saja akan tetapi kita juga harus memandang niat baik dan kesungguhan orang lain.
Kemudian, dari ritual tarian Topeng Sidakarya kita bisa mengambil beberapa nilai mendidik yang bisa kita jadikan pembelajaran untuk kita semua. Pertama, sang penari yang menarikan Topeng Sidakarya menghamburkan beras dalam bokor yang dipegangnya, yang mengandung arti medana/bersedekah atau juga bisa diartikan “berbagi kebahagiaan”. Pesan yang dapat kita tangkap adalah sebagai manusia kita harus bisa berbagi dengan sesama. Tidak hanya mementingkan diri sendiri. Saat kita mendapat rejeki, kita harus menyadari bahwa kita juga harus ingat dan membantu sesama yang sedang kesusahan. Dan dalam tarian tersebut, sang penari juga menangkap seorang anak kecil yang kemudian diberikannya uang, sebagai simbol penyembuhan penyakit dan pemberian kesejahteraan pada umat. Hal ini mengajarkan pada kita bahwa dana atau sedekah yang kita berikan kepada sesama yang sedang kesusahan, akan memberikan kehidupan dan kesejahteraan bagi mereka. Karena kita harus selalu peduli kepada sesama yang sedang membutuhkan pertolongan.
 Secara garis besarnya bila kita kaitkan dengan Yadnya yang kita lakukan, kita bisa mengambil hikmah bahwa Yadnya yang kita selenggarakan harus dengan tujuan untuk kesejahteraan dunia, kebahagiaan dan ketentraman semua makhluk. Kita tidak boleh egois, hanya mendoakan diri sendiri tanpa perduli dengan sesama ciptaan-Nya. Alangkah indahnya jika Yadnya yang kita lakukan bisa dinikmati berkahnya oleh dunia dan semua makhluk ciptaan Tuhan.













BAB III
PENUTUP

3.1.Simpulan
            Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan beberapa hal penting yaitu sebagai berikut:
Demi kesempurnaan upacara Yadnya, sebagai penutup rangkaian upacara dipentaskan Tari Topeng Sidakarya yang dalam pentasnya dapat dibawakan dengan seorang diri (memajeg) atau ditarikan oleh lebih dari satu orang tergantung keadaan. Dalam Tari Topeng Sidakarya, tokoh penting yang ditampilkan adalah Tokoh Dang Hyang Nirartha sebagai Pendeta, Dalem Waturenggong sebagai Penguasa/Raja dan Dalem Sidakarya yang disebut sebagai Sang Tiga Sakti. Dengan ditampilkannya tarian Topeng Sidakarya maka upacara Yadnya yang diselenggarakan dianggap telah sempurna dan bisa memberikan berkah kesejahteraan dan kebahagiaan kepada semua makhluk.
Banyak sekali nilai-nilai pendidikan yang bisa kita ambil dari tari Topeng Sidakarya, antara lain: bahwa Yadnya yang kita lakukan haruslah dengan tujuan untuk kesejahteraan dunia dan seluruh makhluk. Sebagai manusia, kita harus bisa berbagi kebahagiaan dengan sesama, bahwa kita tidak boleh melupakan tradisi warisan leluhur kita, dan juga kita harus memperlakukan sesama makhluk dengan baik, tanpa memandang status ekonomi, sosial dan juga penampilannya.
3.2. Saran
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih sangat jauh dari kata sempurna, namun demikian penulis berharap semoga tulisan ini bisa memberikan dampak positif dan bermanfaat bagi pembaca. Namun penulis juga sangat terbuka apabila ada kritik maupun saran dari pembaca demi penyempurnaan tulisan ini.

KEWANGEN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Pelaksanaan keagamaan Hindu tak pernah lepas dari simbolisasi nilai-nilai agama yang diaplikasikan langsung ke dalam budaya lokal setempat daerah agama Hindu tersebut berkembang. Agama Hindu merupakan agama yang ritualnya dihiasi dengan sarana atau upakara. Ini bukan berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk menghias pelaksanaan ritual. Pelaksanaan ritual dengan jenis upakara tertentu memiliki makna dan tujuan tertentu sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan. Demikian halnya yang terjadi di Bali, hampir sebagian besar dan bahkan secara keseluruhan nilai-nilai agama itu menjiwai kebudayaan Bali. Darah seni berkolaborasi dengan nilai religius keagamaan merasuk dalam nafas kreativitas orang-orang Hindu Bali. Begitu pula dalam pelaksanaan yadnya, baik sarana-sarana yadnya maupun hal-hal lainnya.
            Upakara ritual agama Hindu di Bali kaya dengan jenis dan bentuk upakara. Baik dari bentuk yang paling kecil dan sederhana, sampai yang paling besar dan rumit. Sebagai contoh dalam pelaksanaan upacara keagamaan atau dalam persembahyangan diperlukan beberapa sarana, seperti penjor, gebogan, daksina, canang sari, dan sebagainya. Termasuk juga salah satunya berupa “kewangen”.

1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Apakah arti dari Kewangen ?
2.    Bagaimanakah bentuk dari Kewangen ?  
3.    Dimanakah letak estetika dalam Kewangen ?
4.    Bagaimana hubungan antara bentuk,estetika dan fungsi Kewangen ?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang
            Agama Hindu merupakan agama yang ritualnya dihiasi dengan sarana atau upakara. Ini bukan berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk menghias pelaksanaan ritual. Pelaksanaan ritual dengan jenis upakara tertentu memiliki makna dan tujuan tertentu sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan. Sengaja atau tidak, disadari atau tidak yang jelas kehadiran upakara dalam ritual Hindu di Bali tampak indah atau mengandung estetika.
            Upakara ritual agama Hindu di Bali kaya dengan jenis dan bentuk upakara. Baik dari bentuk yang paling kecil dan sederhana, sampai yang paling besar dan rumit. Sebagai contoh dalam pelakasanaan upacara keagamaan atau dalam persembahyangan diperlukan beberapa sarana, seperti penjor, gebogan, daksina,dan sebagainya. Termasuk juga salah satunya berupa “kewangen”. Kalau dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara simbol “Omkāra” (ý) (Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om” (ý) adalah huruf suci, singkat dan mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa “kewangen” memiliki bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum. Keharuman ”kewangen” ini adalah suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakti senantiasa mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan.
            Secara estimologi Kewangen itu adalah kata jadian, kata dasarnya adalah WANGI, mendapatkan prefik Ka dan sufik AN, maka menjadi; Ka + wangi +an = ka(e)wangian. i + a = e, menjadi Kewangen. Oleh karena kata dasarnya itu WANGI, yang mana wangi itu identik dengan bau yang disenangi dan bau yang dicintai, mungkin dibutuhkan oleh setiap manusia yang normal (Kewangen), maka itu pula yang menyebabkan kewangen itu disebut dan digunakan sebagai simbul yang dapat mewakili Tuhan dalam pikiran umat. Jadi kesimpulannya Kewangen itu adalah simbul Tuhan juga disebut simbul dari huruf Ongkara (hurup Bali) yang juga disebut simbul Tuhan dalam bentuk huruf.

            Keberadaan “Kewangen” sangat penting dalam upacara persembahyangan karena memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu Tuhan Yang Mahaesa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sebagai simbolik Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya “kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah dari bahan-bahan yang indah juga dan harum. Hal ini dapat dimaknai bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah indah, harum, dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan.
2.2 Bentuk Kewangen
            Sebagai simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki ukuran bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti bunga sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun pisang, pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga harum yang ditusuk dengan biting. Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan sisih asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong. Selanjutnya sampian kewangen, bunga-bunga harum, dan terakhir adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi yang dilipat sehingga mudah ditancapkan.
Sumber : Dokumentasi Penulis
2.3 Estetika Kewangen
            Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak, pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang logika manusia.
            Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia. Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus rasa dalam kehidupannya. Demikian juga halnya dalam simbol upakara ” Omkāra” dalam bentuk ”Kewangen” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika. ”Kewangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kewangen” yang merupakan sarana dalam persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kewangen ” sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusyuk dan nyaman sehingga memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah ”kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana senang, suci, kusyuk dan nyaman dalam sembahyang.

            Adapun unsur-unsur keindahan dari kwangen serta komposisi keindahan kwangen yakni :

a) Unsur-unsur keindahan Kewangen
            Untuk mewujudkan estetika “kewangen” diperlukan beberapa unsur yang mengandung makna tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya keindahan (estetika)  pada bentuk “kewangen”.
Bahan-bahan Kwangen terdiri dari :
-    Daun pisang
-    Daun sirih, kapur sirih dan buah pmang
-    Sampian Kwangen
-    Pis Bolong
-    Bunga-bunga Harum
-    Kembang Rampe




Cara Menatanya:
  • Daun pisang dibentuk menjadi sebuah kojong. Kemudian di dalarnnya diisi daun sirih, kapur sirih dan buah pinang yang telah dibungkus oleh daun sirih.
  • Selanjutnya sampian Kwangen yang ada lidinya ditancapkan pada kojong itu di depan sampiannya. Di bawahnya diisi Kembang Rampe. Tak ketinggalan pula ditancapkan juga 'Pis Bolong'


            Adapun unsur tersebut antara lain:    
1) Kojong kewangen
Kojong kewangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip, bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan. Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen melambangkan “Arda Candra”, badang kojong melambangkan “Suku Tunggal”.
2) Plawa
Pelawa adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bisa dari daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketengan dan kejernihan pikiran. Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat mendukung estetika “kewangen”.
3) Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadaphadapan, ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kewangen”.
4) Sampian kewangen
Sampian kewangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Sampian kewangen sebagai simbol “Nada”. Unsur ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kewangen. Sampian kewangen dari rangkaian tuesan/ rerunggitan daun kelapa yang melambangkan rasa ketulusan hati, dibuat mengikuti unsur-unsur keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta penataan yang mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan menambah keindahan (estetika) sebuah “kewangen”.
5) Pis bolong
Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperlukan dalam upacara keagamaan umat Hindu. Uang kepeng melambangkan sesari / sarining manah. Selain itu uang kepeng berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang ada. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung estetika dari “kewangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu penyatuan Siwa Budha.


b) Komposisi keindahan Kewangen
            Komposisi merupakan penataan unsur-unsur yang membentuk keindahan suatu karya. Komposisi keindahan “kewangen” adalah menata atau menyusun unsur-unsur dari “kewangen” itu sendiri, seperti: menata atau menyusun kojong kewangen, pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga, sehingga menjadi bentuk yang indah dan menarik.
1) Keseimbangan
            Penataan unsur-unsur “kewangen” dengan memperhatikan keseimbangan antara bagian kiri dan kanan dengan menerapkan keseimbangan simetris, yaitu bagian kiri dan kanan diusahakan unsur-unsurnya memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang sama. Hal ini dilakukan agar “kewangen” tidak berkesan berat sebelah.
2) Kesatuan
            Penataan unsur-unsur “kewangen” agar berkesan suatu keutuhan bentuk. Unsur yang satu menukung unsur yang lainnya sehingga tidak ada kesan yang lepas atau terpisah antara bagian-bagian dari “kewangen” itu sendiri. Penataan ini perlu dilakukan agar pandangan orang terhadap “kewangen” terfokus pada keutuhan bentuk “kewangen”.
3) Irama
            Penataan unsur-unsur “kewangen” berdasarkan irama untuk menimbulkan keharmonisan bentuk “kewangen”. Penataan ini dapat dilakukan dengan mengatur gradasi bentuk, ukuran dan warna unsur, misalnya dari bentuk kecil ke bentuk yang lebih besar dan kembali ke bentuk yang kecil, atau dari warna yang terang ke warna yang lebih gelap dan kembali ke warna yang terang.


4) Proporsi
            Proporsi merupakan perbandingan dalam penataan unsur-unsur pembentuk “kewangen” termasuk ketepatan penempatan posisi dari masing-masing bagian-bagian dari “kewangen”, seperti penempatan sampian kewangen pada bagian belakang, pis bolong pada bagian depan, dan sebaginya. Penempatan unsur-unsur kewangen yang tepat pada posisinya tentu akan mendukung keindahan bentuk “kewangen”.
2.4 Hubungan bentuk, estetika dan fungsi 
            Bentuk “kewangen” yang kecil dan mungil serta seolah-olah berbentuk segitiga terbalik tentu telah memperhitungkan fungsi dari “kewangen” tersebut. Fungsi yang dimaksud adalah saat digunakan untuk sembahyang, yaitu “kewangen” dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan tepat sejajar dengan ubun-ubun. Artinya “kewangen”nyaman digunakan saat sembahyang, tidak susah dipegang, tidak mudah jatuh dan tidak mengganggu konsentrasi.
            Keserasian antara bentuk dan fungsi mutlak harus dikondisikan. Keindahan bentuk jangan sampai mengganggu fungsi dan sebaliknya fungsi jangan sampai menganggu bentuk. Kalau diperhatikan, pada bagian badan “kewangen” yang merupakan kojong “kewangen” dibuat polos (sederhana) tanpa hiasan, hal ini untuk memudahkan dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan. Demikian juga, keindahan bentuk jangan sampai tergganggu akibat salah menggunakan atau memegang “kewangen”.
            Keserasian bentuk dan fungsi “kewangen” akan memberikan kepuasan bathin saat memandangi estetika “kewangen”, seperti dapat menimbulkan kesenangan, menyejukkan pikiran, dan kedamaian hati. Demikian juga saat digunakan untuk sembahyang dapat memberikan kekusukan dan kesucian bathin.





BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Sesungguhnya Kwangen atau Kuangen ini tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. dimana Kwangen ini sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
            Kewangen tidak hanya dipakai pada upacara persembahyangan saja tetapi juga dipakai pada upacara-upacara lainnya umpamanya pada upacara Bhutayadnya.  Kawangen ditempatkan di atas kulit binatang (bayang-bayang) yang dipersembahkan. Pada upacara Devayadnya, Kawangen dipakai melengkapi “pedagingan“, sedangkan pada upacara Pitrayadnya, Kwangen diletakkan pada persendian-persendian seseorang yang sudah meninggal, ataupun pada puspa (sekah). Rupanya fungsi Kawangen dalam hal ini adalah sebagai “Pengurip-urip“. Disamping itu pada beberapa jenis sesajen akan dipergunakan pula Kawangen sebagai pelengkapnya. Mengenai pemakaian uang disesuaikan dengan fungsinya, yaitu bila dipakai sebagai pengurip-urip sedapat mungkin dipakai uang kepeng, sebab peranan uang dalam ha ini tidak hanya kepeng, tetapi juga sebagai pengganti “Panca Datu” ( emas, perak, tembaga, besi dan permata ). Tetapi juga dipakai pada upacara-upacara persembahyangan yang umum atau sebagai pelengkap sesuatu sesajen, dapat dipergunakan uang logam, sebab yang diutamakan dalam hal ini adalah bentuk yang bulat melambangkan Vindu.
            Dapat disimpulkan estetika “kewangen” nampak pada bentuknya yang kecil dan mungil yang tersusun atas komposisi unsur-unsur yang indah dan bermakna simbolik serta dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Keindahan (estetika) kewangen memiliki keserasian bentuk dan fungsi sehingga nyaman digunakan pada saat sembahyang baik secara fisik maupun bathin.
3.2 Saran
Ø Semoga makalah ini dapat berguna sebagai bahan acuan dalam pembelajaran, khususnya pada pembelajaran terkait dengan Estetika Hindu tentang Kewangen.

Saturday, June 6, 2015

KELUARGA SUKINAH HINDU

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Sejak awal kehidupan manusia, ternyata bersatunya antara seorang wanita dengan seorang laki-laki yang disimbulkan akasa dan pertiwi sebagai cakal bakal sebuah kehidupan baru yang diawali dengan lembaga perkawinan. Hendaknya laki-laki dan perempuan yang telah terikatdalam ikatan perkawinan selalu berusaha agar tidak bercerai dan selalu menyintai dan setia sampai hayat hidupnya, jadikanlah hal ini sebagi hukum yang tertinggi dalam ikatan suami-istri. Keluarga yang dibentuk hanya berlangsung sekali dalam hidup manusia, keluarga atau rumah tangga bukanlah semata-mata tempat berkumpulnya laki dan wanita sebagai pasangan suami istri dalam satu rumah, makan-minum bersama. Namun mengupayakan terbunanya keperibadian dan ketenangan lahir dan bathin, hidup rukun dan damai, tentram, bahagia dalam upaya menurunkan tunas muda yang suputra.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab I
pasal 1:
menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuahanan Yang maha Esa.
pasal 2 :
Menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian perkawinan menurut pandangan Hindu bukanlah sekedar legalitas hubungan biologis semata tetapi merupakan suatu peningkatan nilai berdasarkan hukum Agama, karena Wiwaha samkara adalah merupakan upacara sacral atau skralisasi peristiwa kemanusiaan yang bersifat wajib.
            Keluarga bahagia yang menjadi tujuan wiwaha samkara dalam terminology Hindu disebut keluarga Sukhinah merupakan unsur yang sangat menentukan terbentuknya masyarakat sehat (sane society).
      Keharmonisan keluarga merupakan syarat penting dalam mengarungi kehidupan rumah tangga agar mereka mampu menghadapi berbagai goncangan dan hempasan badai dalam rumah tangga. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep keharmonisan keluarga sangat diperlukan karena kebanyakan keluarga yang gagal adalah keluarga yang tidak memahami akan pentingnya keharmonisan keluarga.
      Keharmonisan keluarga merupakan dambaan setiap orang yang ingin membentuk keluarga atau yang telah memiliki keluarga, namun masih banyak yang kesulitan dalam membangun keharmonisan keluarga. Dalam membangun keharmonisan keluarga sangat dipengaruhi oleh tiga kecerdasan dasar manusia yaitu Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Intelektual. Oleh sebab itu sangatlah penting bgi setiap individu atau setiap orang yang ingin membangun sebuah rumah tangga ketiga pondasi atau dasar-dasar kecerdasan tersebut harus lebih dimatangakan agara lebih siap lahir bathin dalam berkeluarga nantinya.


1.2 Rumusan Masalah
            Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya adalah :
              1.    Bagaimanakah Ciri-ciri keluarga bahagia (sukinah) ?
2.    Apa sajakah faktor-faktor agar tercapainya keluarga bahagia dan pedoman   mencapai keluarga bahagia ?
1.3 Tujuan Penulisan
            Dari rumusan masalah yang telah disampaikan di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
      1.      Untuk mengetahui bagaimanakah Ciri-ciri keluarga bahagia (sukinah).
      2.      Untuk mengetahui apa sajakah faktor-faktor agar tercapainya keluarga bahagia dan pedoman mencapai keluarga bahagia.
1.4 Manfaat Penulisan

            Manfaat penulisan dari makalah ini adalah :
1.      Memberi pemahaman yang lebih mendalam lagi tentang bagaimana ciri-ciri keluarga bahagia.
2.      Memberi tambahan pengetahuan dan bekal kepada pembaca dalam mengarungi bahtera  rumah tangga.














BAB II
PEMBAHASAN
Om Sarve bhavantu sukhinah
Sarve śāntu niramayah
Sarve bhadrāni paśyantu
Ma kaścid duhkha bhāg bhavet

Om, Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh kebahagiaan
Semoga semuanya memperoleh kedamaian
Semoga semuanya memperoleh kebajikan dan saling pengertian
Jauhkanlah kami dari segala kedukaan dan halangan.

2.1 Ciri – ciri Keluarga Bahagia
            Keluarga yang diidealkan setiap manusia adalah keluarga yang memiliki ciri-ciri mental sehat demikian dengan perasaan tenang, cinta dan kasih sayang. Antar anggota keluarga saling mencintai, menyayangi, dan merindukan. Sang ayah mencintai, menyayangi dan merindukan anak dan ibu dari anak-anaknya. Sang ibu menyayangi, mencintai dan merindukan anak dan ayah dari anak-anaknya. Sang anak pun demikian: menyayangi, mencintai, dan merindukan ayah dan ibunya. Dengan demikian di antara mereka terdapat kesatuan (unity) satu terhadap yang lain. Ciri-ciri pola hubungan yang melekat pada keluarga yang bahagia adalah (1) kesatuan dengan Sang Pencipta, (2) kesatuan dengan alam semesta, (3) komitmen, (4) adanya feedback, (5) keluwesan, (6) kesatuan fisik dan hubungan seks yang sehat, (7) kerjasama, (8) saling percaya, dan lain-lain.
1. Kesatuan dengan Sang Pencipta
           Setiap manusia dan unit kesatuan manusia semestinya memelihara keterikatan dengan Tuhan  Sang Pencipta. Keterikatan ini sesungguhnya bersifat alamiah. Antara manusia dan Tuhan telah terjadi perjanjian primordial, yaitu manusia bertaqwa kepada tuhan yang maha esa. Para ahli psikologi menyederhanakannya dengan istilah religious instinct. Bila keterikatan alamiah ini dipelihara, maka manusia berada dalam posisi mempertahankan dan memelihara fondasi kepribadiannya. Dalam kehidupannya, ia memperoleh ketenangan, rasa cinta, dan kasih sayang.
Kesatuan dengan Sang Pencipta dalam masalah pernikahan ini disederhanakan dengan ungkapan pernikahan merupakan ibadah. Artinya, ketika dilangsungkan dan dijalankan roda kehidupan pernikahan (baca: dibentuk keluarga), maka yang dilakukan mereka berdasarkan kerangka kesatuan dengan Tuhan.
            Dalam perjalanan hidup keluarga yang dijalaninya, mereka selalu berusaha untuk mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan dari Tuhannya. Bila ada problem yang menimpa, mereka mengembalikannya kepada Sang Pencipta. Mereka sadar sepenuhnya bahwa Sang Pencipta memuliakan pernikahan dan sangat membenci perceraian. Bagi keluarga yang bahagia, menjalani hidup dalam kesatuan dengan Sang Pencipta adalah ciri yang melekat pada mereka. Semakin tinggi kesatuan dengan Sang Pencipta semakin tinggi tingkat kebahagiaan hidup keluarga.
2. Kesatuan dengan alam semesta (terutama manusia)
          Setiap manusia dan unit kesatuan manusia semestinya memiliki keterikatan dengan sesama manusia dan alam semesta. Kesatuan dengan alam semesta ini sesungguhnya merupakan perwujudan dari amanat yang diterima setiap manusia untuk menjadi pengganti Tuhan di bumi. Keluarga yang memiliki keselarasan dengan lingkungannya akan memperoleh ketenangan, kecintaan, dan kasih sayang dari lingkungannya. Semua itu akan memberikan sumbangan yang besar bagi ketenangan, cinta, dan kasih sayang dalam dada mereka. Tanpa kesatuan dengan sesama manusia dan lingkungan alam, keluarga sering berada dalam ancaman keresahan dan kekhawatiran.
            Kesatuan dengan lingkungan diwujudkan dalam bentuk upaya menyelaraskan diri dengan lingkungan dan memberi sumbangan bagi lingkungan. Penyelarasan terhadap lingkungan terutama menyangkut adanya kenyataan bahwa lingkungan memiliki kekuatannya sendiri dan karenanya yang dapat kita lakukan adalah menyesuaikan diri dengannya. Berdasarkan pengamatan penulis, kesatuan dengan lingkungan yang terwujud dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sering menjadi prasayarat bagi ketenangan hidup dalam keluarga. Keterputusan dengan alam semesta (baca: lingkungan sosial) akan menghadirkan ketidaktenangan, cinta, dan kasih sayang. Sebagai misal, bila kita sakit dan tak satupun tetangga atau sahabat yang mengunjungi kita, maka kita akan sakit keloro-loro (sakit yang sangat pedih).
            Lebih dari sekadar menyesuaikan diri, manusia memiliki tugas menyumbang: memperbaiki dan mengubah lingkungannya. Lingkungan yang tidak kondusif bagi kehidupan makhluk Tuhan, keadaan sosial yang mencelakakan, lingkungan fisik yang penuh dengan persoalan, adalah medan bagi setiap manusia untuk berkiprah memperbaiki dan mengubahnya menjadi lebih baik. Bila tugas ini dilakukan dengan baik, maka manusia menunjukkan kesatuannya dengan lingkungannya. Manusia-manusia yang hidup di masa kini dan mendatang memiliki tantangan untuk menyumbang lingkungan dalam bentuk perilaku memperbaiki dan mengubah. Bila sumbangan itu dapat kita berikan, maka ketenangan akan kita peroleh. Bila kita acuh tak acuh, maka akan terasa tidak enaknya tidak menyatu dengan lingkungan.
3. Komitmen Berkeluarga
Individu-individu yang pertama kali membentuk keluarga memiliki niat dan itikad untuk membentuk, mempertahankan dan memelihara pernikahan. Komitmen utama adalah bagaimana keluarga bertahan. Di sini suami dan istri memiliki niatan untuk mempertahankan keluarga dalam situasi apapun dan juga berupaya mengoptimalkan fungsi keluarga untuk memenuhi tanggung jawab vertikal maupun horisontal. Biar gelombang menerjang dan gunung berguguran, komitmen mempertahankan pernikahan tetap dipegang teguh. Sebagaimana diungkapkan Florence Isaacs (Hanna D. Bastaman, 2001), pernikahan yang awet ditandai oleh niat dan itikad untuk mempertahankan pernikahan.
            Komitmen yang lain adalah bagaimana keluarga mencapai posisi sebagai keluarga yangpenuh kasih sayang,ketenangan, dan cinta kasih. Di sini ada keinginan, niat, dan itikad untuk meningkatkan mutu berkeluarga. Dengan komitmen itu mereka berusaha menghilangkan kebosanan satu terhadap yang lain, selalu meningkatkan rasa fresh satu bagi yang lain, dan seterusnya. Bila komitmen itu tidak dimiliki oleh orang-orang utama dalam keluarga, suami dan istri serta juga anak-anak, maka keluarga itu dapat ambruk atau memasuki medan penghancuran. Berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa keluarga yang pecah (broken  home), yang ditandai oleh percekcokan dan perceraian orangtua, akan menghasilkan anak-anak yang pencemas, rendah diri, apatisme, dan sejenisnya.
4. Umpan Balik (Feedback) dan Nasihat
          Setiap manusia dapat tergelincir ke hal-hal yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain, dan sebaliknya dapat pula berkembang secara optimal. Salah satu fungsi keluarga adalah melakukan sosialisasi primer. Melalui sosialisasi primer ini anggota keluarga dapat memahami apa yang patut dan tidak patut, baik dan tidak baik. Sosialisasi primer dilakukan dengan kebiasaan memberi umpan balik (feedback) dan saling menasehati (tausiyah). Nasihat dimaksudkan untuk menjaga orang-orang yang ada dalam keluarga dari kemungkinan mengambil pilihan yang merugikan dan menyesatkan diri maupun orang lain.
Yang patut diperhatikan adalah fungsi saling menasehati ini banyak yang tidak berlangsung. Salah satu kritik yang pernah dialamatkan pakar psikologi perkembangan Indonesia Kusdwiratri Setiono terhadap orang tua (baca: pengendali keluarga) adalah mereka sangat minim dalam menasehati anaknya dan terlalu percaya bahwa sekolahlah yang akan menjadikan anak mereka pintar dan santun. Anak-anak dari orang berhasil ternyata tidak memiliki kehidupan yang sukses, diduga keras karena tidak berjalannya proses komunikasi yang berisi umpan balik. Karenanya umpan balik dan saling menasehati tampaknya menjadi hal yang penting untuk menjaga keluarga agar tetap memiliki jalur yang benar.
            Salah satu persoalan berkaitan dengan masalah ini adalah adab (tata krama) menasehati. Mungkinkah anak menasehati sang ayah? Mungkin salah satu kenyataan budaya kita menunjukkan bahwa ayah begitu perkasa dan berwibawa untuk diposisikan sebagai orang yang dinasehati. Sebenarnya, siapapun dapat berada dalam posisi yang benar dan sebaliknya bisa dalam posisi salah. Orang yang yakin dengan kebenaran berada dalam posisi amar ma’ruf nahi munkar, tidak peduli ayah, ibu, atau presiden sekalipun.
5. Keluwesan
          Pada awal pembentukan keluarga umumnya orang memiliki harapan-harapan yang ideal. Ke manapun pergi selalu bersamamu, begitu mimpi setiap pasangan baru. Dalam kenyataannya harapan itu dan berbagai harapan lainnya, tidak mewujud. Dalam situasi seperti ini, orang merasakan keadaan yang diidealkan tidak tercapai.
            Bertindaklah realistis, kata orang. Artinya, orang tetap luwes dengan idealita yang dipatoknya : menyesuaikan diri dengan kenyataan tanpa kehilangan harapan untuk mencapainya di suatu hari kelak. 
            Keluwesan yang lain adalah keluwesan terhadap pasangan. Setiap individu yang berkeluarga mengharapkan pasangannya bertindak dan bersikap baik seperti yang ada dalam kerangka pikirnya. Dalam kenyataannya, banyak sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan dan menyesakkan dada. Dalam situasi seperti ini, toleransi terhadap hal-hal yang berbeda dari pasangan menjadi amat penting. Yang patut dicatat, dalam toleransi ada komitmen untuk menjadikan yang ada berubah menjadi lebih baik, tentu secara bertahap.
6. Kesatuan Fisik dan Hubungan Seks yang Sehat
          Berbagai literatur mengungkapkan bahwa keluarga yang sehat mental ditandai oleh adanya hubungan seks yang sehat antara suami dan istri. Seks merupakan bentuk hubungan yang melibatkan kesatuan fisik dan psikologis dari suami istri. Adanya keberlangsungan hubungan seks yang semestinya akan menjaga kesatuan dalam keluarga, menjadikan anggota keluarga bahagia, dan puas. Berbagai temuan mutakhir menunjukkan bahwa terjaganya hubungan seks suami istri (seminggu 2-3 kali) menjadikan suami istri puas dalam pernikahan yang secara jangka panjang dapat memanjangkan umur. Sebaliknya, sebagaimana dapat dilihat dalam kenyataan sosial, kegagalan hubungan seks, terlalu jarangnya kontak seksual, dan juga terlalu berlebihannya hubungan seksual akan memiliki dampak kekisruhan dalam keluarga (semisal perselingkuhan, dan seterusnya) dan ketidakstabilan emosi. Sebuah kasus di Rumah Sakit Jiwa Magelang menunjukkan bahwa seks yang berlebihan menyebabkan seorang istri jadi pasien rumah sakit jiwa.
          Tidak kurang dari itu, kesatuan fisik antara anggota keluarga sangat berguna untuk memupuk adanya keluarga yang kokoh. Kehadiran secara fisik orang yang kita cintai akan menjadikan cinta terpelihara. Pernyataan ini bukan berarti anggota keluarga harus terus menerus bersama. Maksudnya, adanya perpisahan yang bersifat sementara (misalnya karena kerja, studi, atau bepergian beberapa hari) segera disusul oleh perjumpaan.
Berbagai kasus menunjukkan jarak yang jauh menyebabkan terjadinya berbagai macam perselingkuhan dan perceraian.
7. Kerjasama
          Agar keluarga dapat berjalan secara optimal, semestinya mereka saling bekerjasama. Suami membantu istri dan anak. Istri membantu suami dan anak. Anak membantu bapak dan ibunya. Masalah kerjasama atau kekompakan ini akan berkembang bila mereka mengupayakan untuk melakukan berbagai kegiatan secara bersama-sama. Salah satu medan kerjasama atau kekompakan adalah dalam hal mendidik anak. Kultur masyarakat masa lalu dan juga masa kini sering menempatkan wanita sebagai pihak yang bertanggung jawab mendidik anak. Kesalahkaprahan ini sangat sering terjadi. Laki-laki pun banyak yang merasa tidak bersalah saat mereka bulat-bulat menyerahkan tanggung jawab mendidik anak kepada istri, atau malah kepada baby sitter, pembantu rumah tangga, atau kepada televisi. Bahkan, pembantu pun menyerahkan ke peminta-minta di jalanan (sebagaimana terjadi di Bandung beberapa waktu lalu).
          Keadaan di atas tentu sangat tidak ideal. Yang semestinya diupayakan oleh setiap keluarga adalah bagaimana terdapat kerjasama dalam mendidik anak.
Satu hal amat penting untuk diperhatikan dalam masalah kerjasama adalah peran ganda pria (baca: suami). Kultur yang berkembang dalam masyarakat umumnya menempatkan laki-laki bekerja dalam sektor publik dan sangat minim bekerja dalam sektor domestik, terutama mendidik anak. Kerjasama dapat dioptimalkan bila laki-laki menyediakan diri untuk mengerjakan wilayah domestik. Apabila ini dilakukan, maka babak kerjasama suami dan istri mulai,menguat.
8. Saling Percaya
          Pembentukan keluarga (baca: pernikahan) diawali oleh kesalingpercaya-an. Masing-masing pihak –suami dan istri-- percaya bahwa satu sama lain akan melakukan usaha agar jalinan kesatuan di antara mereka dapat mengantarkan mereka menjadi bahagia dan sejahtera. Bila kepercayaan ini dijaga, maka kehidupan berkeluarga dapat dipertahankan. Bila kepercayaan tidak dijaga, maka keluarga dapat pecah (broken home).
            Salah satu ajaran agama yang dalam kehidupan kongkrit bersifat kontroversial adalah menikah lebih dengan seorang istri. Dalam keluarga yang demikian, satu istri bisa sangat cemburu dan bahkan sangat curiga manakala sang suami tampak lebih akrab dan lebih cinta terhadap istri yang lainnya. Kalau kecemburuan dan kecurigaan merajalela, maka yang bakal terjadi adalah rusaknya bangunan keluarga. Artinya, sebagaimana ditemukan dalam banyak kasus, poligami ternyata rentan terhadap upaya mempertahankan kesalingpercayaan suami istri.
         Secara garis besar ciri-ciri keluarga yang bahagia bukan hanya tentang uang, kekayaan, jabatan atau kesuksesan lainnya yang kita raih, tetapi juga keluarga yang harmonis. Ciri keluarga sehat, bahagia juga harmonis berikut bisa kita jadikan cermin untuk melihat tanda-tandanya dalam keluarga kia nanti. Ciri-ciri keluarga yang harmonis diantaranya adalah :
·              Menikmati kehadiran yang lain. Antara suami dan istri, orang tua dengan anak, dengan saudara dengan mertua dan dengan anggota lain di dalam keluarga  tidak berarti mereka harus selalu bersama-sama, tetapi begitu bersama-sama mereka menikmati kebersamaan itu dan menciptakan suasana kekeluargaan dan kebahagiaan.
·              Saling menghargai satu sama lain dan menemukan hal-hal positif pada diri masing-masing anggota.
·              Meski tidak selalu, mereka sering melakukan rekreasi bersama-sama. Nonton konser, berlibur, dan berjalan-jalan ke tempat yang sama tapi tetap merasakan arti kebahagiaan dalam kesederhanaan.
·              Saling terbuka dan percaya satu sama lain, termasuk hal-hal yang sangat pribadi.
·              Bila salah satu tertimpa kesusahan, ia selalu bisa datang pada yang lain tanpa rasa sungkan dari semua antar anggota keluarga.
·              Sering menertawakan satu hal yang sederhana bersama-sama, menyanyi lagu yang sama, dan menikmati acara yang sama untuk menciptakan kebahagian melalui hal-hal yang kecil dan sederhana.
·              Tidak pernah kehabisan acara atau ide untuk melakukan hal bersama-sama.
            Bila hal-hal umum yang mencirikan keluarga bahagia diatas telah kita miliki, tentu arti makna kehidupan pun sudah kita  temukan. Mungkin selama ini banyak permasalah keluarga yang salah satu penyebabnya adalah tidak adanya waktu luang untuk keluarga. Kita  tentu ingin tetap meraih kesuksesan dalam karir, kesehatan dan financial tanpa melupakan keluarga. Oleh sebab harus ada keseimbangan dari berbagai aspek-aspek kehidupan yang kita jalani untuk memperoleh kebahagian dalam hidup.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga
Ada banyak ahli yang mengemukakan tentang faktor-faktor yangmempengaruhi keharmonisan keluarga. Di bawah ini akan dikemukakanbeberapa faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga menurut paraahli. Keluarga harmonis atau sejahtera merupakan tujuan penting.Olehkarena itu untuk menciptakan perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Perhatian. Yaitu menaruh hati pada seluruh anggota keluarga sebagai dasar utama hubungan yang baik antar anggota keluarga. Baik pada perkembangan keluarga dengan memperhatikan peristiwa dalam keluarga,dan mencari sebab akibat permasalahan, juga terdapat perubahan pada setiap anggotanya.
2. Pengetahuan. Perlunya menambah pengetahuan tanpa henti-hentinya untuk memperluas wawasan sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan keluarga. Sangat perlu untuk mengetahui anggota keluaranya, yaitu setiap perubahan dalam keluarga, dan perubahan dalam anggota keluarganya, agar kejadian yang kurang diinginkan kelak dapat diantisipasi.
3. Pengenalan terhadap semua anggota keluarga. Hal ini berarti pengenalan terhadap diri sendiri dan pengenalan diri sendiri yang baik penting untuk memupuk pengertian-pengertian.
4. Bila pengenalan diri sendiri telah tercapai maka akan lebih mudah menyoroti semua kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam keluarga.Masalah akan lebih mudah diatasi, karena banyaknya latar belakang lebihcepat terungkap dan teratasi, pengertian yang berkembang akibatpengetahuan tadi akan mengurangi kemelut dalam keluarga.
5. Sikap menerima. Langkah lanjutan dari sikap pengertian adalah sikapmenerima, yang berarti dengan segala kelemahan, kekurangan, dankelebihannya, ia seharusnya tetap mendapatkan tempat dalam keluarga.Sikap ini akan menghasilkan suasana positif dan berkembangnyakehangatan yang melandasi tumbuh suburnya potensi dan minat darianggota keluarga.
6. Peningkatan usaha. Setelah menerima keluarga apa adanya maka perlumeningkatkan usaha. Yaitu dengan mengembangkan setiap dari aspekkeluarganya secara optimal, hal ini disesuaikan dengan setiap kemampuamnmasing-masing, tujuannya yaitu agar tercipta perubahan-perubahan danmenghilangkan keadaan bosan.
7. Penyesuaian harus perlu mengikuti setiap perubahan baik dari fisik orangtua maupun anak.
Dari sumber lain, Keluarga harmonis atau keluarga bahagia adalah apabila dalam kehidupannya telah memperlihatkan faktor-faktor berikut:
1. Faktor kesejahteraan jiwa. Yaitu rendahnya frekwensi pertengkaran danpercekcokan di rumah, saling mengasihi, saling membutuhkan, salingtolong-menolong antar sesama keluarga, kepuasan dalam pekerjaan danpelajaran masing-masing dan sebagainya yang merupakan indikator-indikatordari adanya jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat.
2. Faktor kesejahteraan fisik. Serinnya anggota keluarga yang sakit, banyakpengeluaran untuk kedokter, untuk obat-obatan, dan rumah sakit tentu akanmengurangi dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga.
3. Faktor perimbangan antara pengeluaran dan pendapatan keluarga.Kemampuan keluarga dalam merencanakan hidupnya dapatmenyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran dalam keluarga
Kunci utama keharmonisan sebenarnya terletak pada kesepahaman hidup suami dan istri. Karena kecilnya kesepahaman dan usaha untuk saling memahami ini akan membuat keluarga menjadi rapuh. Makin banyak perbedaan antara kedua belah pihak maka makin besar tuntutan pengorbanan dari kedua belah pihak.Jika salah satunya tidak mau berkorban maka pihak satunya harus mau berkorban.Jika pengorbanan tersebut telah melampaui batas atau kerelaannya maka keluarga tersebut akan terancam.Maka fahamilah keadaan pasangan, baik kelebihan maupun kekurangannya yang kecil hinga yang tebesar untuk mengerti sebagai landasan dalam menjalani kehidupan berkeluarga. Rencana kehidupan yang dilakukan kedua belah pihak merupakan faktor yang sangat berpengaruh karena dengan perencanaan ini keluarga bisa mengantisipasi hal yang akan datang dan terjadi saling membantu untuk misi keluarga.

















BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Keluarga Bahagia Sejahtera (sukinah) adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertakwa kepada TYME, memiliki hubungan serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
Bahagia adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi kejiwaan masyarakat yang senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan. Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.
3.2 Saran
1.  Diharapkan dapat menambah pemahaman yang lebih mendalam lagi tentang bagaimana ciri-ciri keluarga bahagia sukinah.
2.   Diharapkan  Memberi tambahan pengetahuan dan bekal kepada pembaca dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
3.   Diharapkan Memberi masukan kepada mahasiswa dan dosen pengampu mata kuliah terkait.

4.      Sebagai acuan dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktop