BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Yadnya
adalah bagian yang sangat penting dari agama Hindu khususnya di Bali. Karena
pelaksanaan ibadah umat Hindu di Bali tidak terlepas dari Yadnya. Yadnya
merupakan salah satu wujud rasa syukur umat Hindu kepada Sang Pencipta. Yadnya
terdiri dari tiga tingkatan yaitu, Nista, Madya, dan Utama Yadnya. Sedangkan
jenis-jenis yadnya dapat dibedakan menjadi lima jenis, sesuai dengan kepada
siapa Yadnya itu ditujukan yang lebih dikenal dengan Panca Yadnya, yang terdiri
dari:
1. Dewa Yadnya yaitu
yadnya yang ditujukan kepada para Dewa
2. Manusa Yadnya yaitu
yadnya yang ditujukan untuk manusia
3. Rsi Yadnya yaitu
yadnya untuk para Rsi
4. Pitra yadnya yaitu
yadnya yang ditujukan untuk para leluhur
5. Butha Yadnya yaitu
yadnya yang ditujukan untuk para butha kala
Dalam pelaksanaan Yadnya, ada beberapa pelengkap yadnya yang
diadakan untuk mengiringi pelaksanaan Yadnya tersebut. Khususnya pada
DewaYadnya, salah satunya adalah tarian sakral. Tari topeng Sidakarya adalah
salah satu tarian sakral yang biasanya ditarikan sebagai pelengkap suatu Karya
atau yadnya khususnya Karya Nyatur. Mengapa Topeng Sidakarya harus ditarikan
dalam karya tersebut? Tentunya ada hal-hal yang harus kita gali dari Topeng
Sidakarya. Pada kesempatan ini penulis akan mencoba menguraikan hal-hal
mengenai Topeng Sidakarya.
1.2.Rumusan
Masalah
Dari latar belakang
permasalahan diatas, dapat penulis rumuskan beberapa permasalahan yang akan
dicari jawabannya, antara lain:
1. Bagaimanakah sejarah
Topeng Sidakarya, sehingga harus ada sebagai pelengkap di akhir sebuah Karya
(yadnya)?
2. Bagaimanakah
ritual pembuatan topeng dan bagaimana pula alur tarian Topeng
Sidakarya?
3. Nilai-nilai
pendidikan apa sajakah yang terkandung dalam tarian Topeng Sidakarya?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Topeng Sidakarya
Sejarah Topeng
Sidakarya diawali dari perjalanan seorang Brahmana yang bernama Brahmana
Keling. Berikut adalah ringkasan dari perjalanan beliau. Pada jaman dahulu di
suatu daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang sangat termashyur
karena pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan
Jiwa”. Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari
sebuah daerah yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan
pesraman atau pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra
dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan
cicit dari Mpu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama Beliau
yang sebenarnya, karena beliau berasal dari daerah Keling maka beliau dipanggil
dengan sebutan Brahmana Keling.
Ø Perjalanan
– Perjalanan Brahmana Keling
Dalam buku Babad Sidakarya
karangan I Nyoman Kantun, S.H. MM dan Drs. I Ketut Yadnya terbitan PT Upada
Sastra pada tahun 2003, diceritakan bahwa Brahmana Keling melakukan perjalanan
ke Madura, Bali, dan terakhir menuju Badanda Negara atau Sidakarya sekarang.
Berikut ini adalah riwayat perjalanan beliau.
a. Perjalanan Brahmana Keling ke Madura
Konon kerajaan Madura
pernah lalai untuk menunaikan Saji Pepajegan yang merupakan
upacara tarian persembahan kepada para Leluhur. Karena raja pada waktu itu
kurang yakin terhadap akibat yang ditimbulkan apabila upacara tidak
dilaksanakan, dan juga rakyat Madura kurang memperhatikan serta melupakan
tradisi warisan dari generasi sebelumnya, akhirnya terjadi kekacauan di
Kerajaan Madura. Mendengar peristiwa itu, Brahmana Keling lalu pergi ke Madura.
Sesampainya beliau di Madura, Raja menjamunya selayaknya menjamu seorang
Brahmana. Saat itu, beliau banyak memberikan nasihat – nasihat terutama untuk
Sang Raja agar upacara yang Saji Pepajegan dilaksanakan dengan
baik demi kesejahteraan rakyat. Awalnya Raja tidak percaya terhadap nasihat –
nasihat yang diberikan oleh Brahmana Keling kepadanya, tetapi Brahmana Keling
tidak putus asa begitu saja karena Beliau tahu bahwa Sang Raja selalu dihantui
oleh rasa bimbang.
Supaya Sang Raja merasa yakin, Akhirnya
Brahmana Keling memperlihatkan dan menunjukkan kekuatan batinnya dengan cara
Pohon pisang yang sudah layu dan kering Beliau hidupkan lagi sehingga menjadi
hijau dan subur kembali, Benang yang semula berwarna hitam dalam sekejap beliau
rubah menjadi berwarna putih, dan hal – hal aneh lainnya yang Brahmana Keling
tunjukkan pada Raja agar Sang Raja percaya padanya.
Akhirnya
Sang Raja terperangah dan terpesona melihat keajaiban yang Brahmana Keling
tunjukkan. Sejak saat itu, Sang Raja sangat taat menjalankan petunjuk –
petunjuk yang diberikan oleh Brahmana Keling, beliau juga ditunjuk untuk
memimpin upacara di Madura. Setelah itu, upacara – upacara seperti tari saji
pajegan berlangsung dengan lancar dan sukses. Keadaan kerajaan kembali aman dan
tenteram. Oleh karena itu di Madura beliau dijuluki sebagai Brahmana
Wasaka yang kira – kira berasal dari kata Wacika yang
berarti ucapan atau perkataan dan Satya yang berarti kesatria
atau kebenaran. Secara umum Brahmana Wasaka berarti apa yang beliau ucapkan
selalu dapat dibuktikan kebenarannya (sidhi ngucap sidhi mandi). Beliau
selanjutnya kembali ke Jawa Timur.
b. Perjalanan Brahmana Keling ke Bali
Sekembalinya beliau ke
Jawa, dengan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, sampailah beliau di
sebuah Desa bernama Desa Muncar. Di
sini beliau beristirahat sejenak sambil menikmati keindahan panorama selat
Bali. Tiba – tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayumanis) yang bercerita panjang
lebar tentang keberadaannya di Nusa Bali. Ayah beliau juga bercerita tentang
kerajaan Gelgel yang dipimpin oleh Dalem Waturenggong dan didampingi oleh Dang
Hyang Nirartha sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan
melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra di Pura Besakih.
Setelah pertemuan Dang Hyang Kayumanis dan Brahmana
Keling, Sang Ayah melanjutkan perjalanan ke Pesraman di Jawa Timur (Daerah
Keling) sedangkan sang Anak melakukan perjalanan ke pulau Bali menuju Kerajaan
Gelgel.
Tak
ada yang tahu tentang bagaimana perjalanan Brahmana Keling ke Bali. Sesampainya
beliau di Gelgel, Kerajaan sedang dalam kondisi sepi dan beliau disapa oleh
beberapa pemuka masyarakat yang ada di Kerajaan. Beliau tiba dalam kondisi
lesu, lusuh, dengan pakaian yang kumal dan kotor. Ketika beliau ditanya tentang
tujuan beliau ke Gelgel, beliau menjawab bahwa beliau ingin menemui saudaranya
yaitu Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena orang yang
ingin ditemui oleh Brahmana Keling tidak ada di Kerajaan, maka beliau
dipersilahkan oleh pemuka masyarakat yang menyapa beliau untuk menuju ke pura
Besakih sebab mereka sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan
upacara Eka Dasa Rudra. Sesampainya beliau di pelataran Pura Besakih, beliau
disapa oleh masyarakat yang sedang ngayah dan ditanyakan maksud kedatangan
beliau. Brahmana Keling menjawab bahwa beliau ingin bertemu saudara beliau
yaitu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Masyarakat tadi tidak percaya
terhadap jawaban Brahmana Keling yang mengaku – ngaku sebagai saudara dengan Dalem
junjungannya, bahkan masyarakat ini tersinggung karena menurutnya tidak mungkin
Dalem junjungannya memiliki saudara yang penampilannya seperti pengemis. Tetapi
Brahmana Keling tetap bersikeras dan beliau berhasil masuk ke dalam pura.
Akhirnya mungkin karena kelelahan, Brahmana Keling langsung menuju ke pelinggih
Surya Chandra dan duduk beristirahat untuk melepas penatnya. Tak berselang
berapa lama, datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh ke
atas pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya beliau. Karena murkanya
beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang yang
telah berani duduk di atas pelinggih Surya Chandra. Prajurit menjawab bahwa
orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi memaksa untuk masuk dan beliau
mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha. Tetapi tidak ada
yang tahu mengapa tiba – tiba orang itu sudah ada di atas pelinggih Surya
Chandra.
Bertambah
murkalah Sang Prabu setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh prajurit tersebut.
Sang Prabu lalu memerintahkan Rakyat dan semua pengayah untuk mengusir orang
yang disangka gila tersebut. Karena saking mulianya hati sang Brahmana, beliau
tidak melawan sedikitpun saat diusir oleh rakyat dan pengayah karena Sang Prabu
sudah tidak mengakui beliau sebagai saudara lagi. Sebelum Brahmana Keling
meninggalkan Besakih, beliau mengucapkan kutukan yang berbunyi “wastu
tata astu karya yang dilaksanakan di pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak
sukses), bunga kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa
gumatat gumitit (binatang kecil/hama) membuat kehancuran (ngerebeda) di seluruh
jagat (bumi) Bali.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut Brahmana Keling
yang bagaikan suara petir di langit yang cerah. Semua masyarakat menyaksikan
dengan mulut menganga, terpaku tak berkutik sedikitpun. Lalu Brahmana Keling
meninggalkan Besakih menuju Barat Daya.
Apa
yang dikatakan oleh Brahmana Keling menjadi kenyataan hingga dalam suatu
pertapaan yang dilakukan oleh Dalem Waturenggong, beliau mendapat pawisik yang
mengatakan bahwa hanya Brahmana Keling saja yang dapat mengembalikan keadaan
seperti semula, lalu Brahmana Keling dijemput oleh rombongan dari kerajaan
Gelgel dan Brahmana Keling bersedia untuk menghadap Dalem Waturenggong di
kerajaan Gelgel. Ternyata setibanya Brahmana Keling di Kerajaan Gelgel, beliau
dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala, menjadi aman dan tentram.
Sehingga beliau dianugrahi gelar Dalem Sidakarya.
Sebagai
penghormatan dan kenangan dari peristiwa di atas, selanjutnya dari ketiga tokoh
penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong yaitu Dalem Waturenggong sendiri,
Dang Hyang Nirartha, dan Dalem Sidakarya, akhirnya Dalem Waturenggong
memerintahkan Pasek Akeluddadah untuk pertamakalinya membuattapel atau
topeng yang menggambarkan Sang Tiga Sakti atau ketiga tokoh yang berperan
penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong. Menurut orang yang menulis buku
ini, Akeluddadah berasal dari dua kata yaitu Akelud yang berarti penyucian atau
pembersihan(pemarisudha) dan Dadah yang berarti air atau air
suci(tirta). Jadi Akeluddadah berarti tirta pemarisudha atau penyucian segala
bentukmala atau kotoran yang disimbolkan dengan topeng yang
dipentaskan sebagai tarian sacral pada sebuah pelaksanaan upacara Yadnya.
Karena I Pasek ini berjasa dalam membuat topeng Akeluddadah, maka beliau
disebut dengan Pasek Akeluddadah. Namun topeng yang dibuat oleh Pasek
Akeluddadah belum diketahui keberadaannya.
Demi
kesempurnaan upacara Yadnya, sebagai penutup rangkaian upacara dipentaskan Tari
Topeng Sidakarya yang dalam pentasnya dapat dibawakan dengan seorang diri (memajeg)
atau ditarikan oleh lebih dari satu orang tergantung keadaan. Dalam Tari Topeng
Sidakarya, tokoh penting yang ditampilkan adalah Tokoh Dang Hyang Nirartha
sebagai Pendeta, Dalem Waturenggong sebagai Penguasa/Raja dan Dalem Sidakarya
yang disebut sebagai Sang Tiga Sakti.
c. Perjalanan Brahmana Keling
ke Badanda Negara(Sidakarya sekarang)
Singkat
cerita sampailah Brahmana Keling di Badanda Negara yaitu di Desa Sidakarya
sekarang. Badanda Negara berasal dari kata Badanda yang berarti Padanda atau
pandan (pohon berduri) dan Negara berarti Wilayah, maka Badanda Negara berarti
Pandan Negara atau suatu wilayah dimana banyak tumbuh pohon pandan dan
sejenisnya. Di pesisir selatan kerajaan Badung banyak ditumbuhi dengan pohon
pandan, jeruju, serta bakau, oleh karena itu daerah pesisir ini lumrah disebut
dengan Badanda Negara atau Pandan Negara. Di sana beliau membuat pesanggrahan /
pesraman sebagaimana layaknya seorang Brahmin.
Sepeninggal
Brahmana Keling dari Pura Besakih, tidak berapa hari suasana jagat Bali
terutama kerajaan Gelgel dan sekitarnya berangsur – angsur menampakkan situasi
yang tidak mengenakkan. Seperti ucapan Sang Brahmana Keling dalam kutukannya,
semua pohon – pohonan yang berguna bagi pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra di
Besakih seperti kelapa, pisang, padi, sayuran, dan sebagainya semua layu. Buah
– buahan berguguran, wabah dan hama seperti ulat, tikus, dan lain – lain
semakin banyak dan ganas menyerang tanaman – tanaman petani. Bumi seketika
menjadi kering kerontang, wabah penyakit (gerubug) menyerang penduduk.
Terjadi pertengkaran antar pengayah yang disebabkan oleh hal – hal yang sepele,
hingga keadaan menjadi kacau balau. Oleh karena itu, pelaksanaan karya urung
dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat
kenyataan seperti itu, Dang Hyang Nirartha diperintahkan oleh Dalem
Waturenggong melakukan upacara pembasmian, bahkan dengan dilakukannya tapa
semadi oleh Dang Hyang Nirartha seakan – akan tidak mempan, bahkan terkesan
masalah semakin menjadi – jadi. Semua keadaan serba menyedihkan. Akhirnya Ida
Dalem sendiri yang turun tangan. Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan
Tapa Semadi di Pura Besakih. Beliau mendapatkan pewisik dari ida Betara yang
berstana di Pura Besakih, bahwa Dalem Waturenggong telah berdosa karena
mengusir saudaranya sendiri secara hina dan hanya Brahmana Kelinglah yang dapat
mengembalikan keadaan seperti sedia kala.
Setelah
mendapatkan petunjuk berupa pawisik, esok harinya Dalem Waturenggong langsung
memanggil perdana menterinya yaitu Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan)
serta memanggil para patih lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan, dan
lainnya termasuk para punggawa untuk mengadakan siding. Dalam Sidang tanpa
agenda tersebut, diputuskan agar menjemput Brahmana Keling yang pernah diusir
sebelumnya secepatnya karena hanya beliau yang dapat mengembalikan keadaan
seperti sedia kala. Dikatakan juga bahwa beliau (Brahmana Keling) sedang berada
di Badanda Negara yaitu di pesisir selatan Kadipaten Badung. PAda waktu itu
yang menjadi Anglurah (Raja) di Badanda Negara (Badung) adalah I Gusti Tegeh
Kori dari Dinasti Tegeh Kori.
Singkat cerita berangkatlah rombongan yang ditugaskan
untuk menjemput Brahmana Keling ke Badanda Negara. Pertama – tama mereka menuju
Kerajaan Tegeh Kori untuk meminta petunjuk lebih lanjut. Akhirnya mereka
diarahkan untuk menuju Pandan Negara (Pesisir Selatan Kerajaan
Badung yang menjadi Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di
Pandan-Negara, bertemulah mereka dengan Brahmana Keling. Mereka langsung
menghaturkan sembah sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud
kedatangan mereka menghadap beliau. Sesuai dengan perintah Dalem Waturenggong,
Brahmana Keling diminta untuk bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong
sesegera mungkin. Sesudah mereka bercerita, Brahmana Keling mempersilahkan
mereka untuk kembali ke Kerajaan Gelgel lebih dulu, Brahmana Keling akan
menyusul kemudian.
Selain
versi cerita di atas ada juga versi cerita lainnya tentang kedatangan Brahmana
Keling ke Bali yang sedikit berbeda namun intinya tetap sama. Kisahnya konon
terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau
mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk
muput upacara ini. Tersebutlah pandita (brahmana) sakti
dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu, tetapi ingin terlibat muput
karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan antara Keling di
Jawa dan Gelgel di Bali karena itu beliau datang. Sayangnya, karena perjalanan
yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal,
bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak
ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tanpa diundang ini
seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya
sempat dihina.
Pandita Keling pergi dengan
dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan
mantra yang berisi sumpah yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong
tidak akan membawa berkah/tidak berhasil, malahan menimbulkan bencana. Semua
banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus
semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja
Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia
lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput pandita yang masih tinggal di
tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling
untuk ikut muput upacara bahkan menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu
menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut
pamuput Sidakarya.
Dari legenda itu masyarakat
Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya berwajah jelek dengan
gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip gelandangan.
Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah
(terutama mulut) dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan
sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke segala arah). Itu
sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya.
2.2.
Proses Tarian dan Ritual Pembuatan Topeng Sidakarya
Adapun ciri – ciri dari
topeng Sidakarya adalah berwarna putih, bermata sipit, giginya agak maju
(jongos), berwajah setengah manusia dan setengah demanik, berambut sebahu,
memakai kerudung yang dirajah, dan penarinya biasanya membawa bokoran berisi
canang sari, dupa, beras kuning, sekar ura, dan sebagainya sebagai symbol
kedarmawanan. Penari topeng sidakarya lalu menari dangkrak – dingkrik dan
dilanjutkan dengan menangkap penonton yang masih anak – anak lalu diberikan
uang kepeng yang artinya kurang lebih sebagai perwujudan mengobati orang sakit
serta memberikan kesejahteraan pada orang lain. Ini juga merupakan simbolis
siklus kehidupan yaitu lahir, kecil, muda, tua, mati. Setelah itu penari
mengucapkan (ngucarang) mantra yang isinya:
“Dadia punang ikang kalan nira, mijil Dalem
Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja menala, gumeter ikang pretiwi apah
teja bayu akasa, lintang tranggana ketekeng surya senjana metu aku saking
Mutering Jagat Sudha butha kala liak, desti teluh trangjana pada nembah tanwani
teken aku, apan aku mawak pemarisudha jagat. Sakuwehing mala, lara, roga,
wigena pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang,
Yang.”
Setelah nguncarang mantra tersebut
dilanjutkan dengan menaburkan beras kuning yang menyimbulkan pemberian laba kepada
para Butha Kala supaya tidak mengganggu ketentraman hidup manusia, serta
menebarkan kesejahteraan pada umat manusia sehingga terwujud rahayuning jagat.
Serta dibarengi dengan penebaran sekar ura yang merupakan
symbol medana – dana (bersedekah) . Dengan selesainya
pementasan Topeng Sidakarya maka tuntaslah segala rangkaian pelaksanaan upacara
Yadnya yang disebut “Sidakarya”.
Ø Ritual
pembuatan
Tak
hanya sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan karena memang
tak dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini lain dengan topeng-topeng
yang dibuat dan dijual secara massal, seperti di pasar-pasar kerajinan atau
pasar oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai dari pemilihan bahan kayu, ritual
memulai memahat, pengawetannya, hingga ritual penghidupan topeng tersebut.
Namun, jangan salah paham dengan adanya ritual penghidupan topeng ini.
Penghidupan ini bukannya topeng tersebut kemudian bisa berbicara, melainkan
dimaksudkan terasa lebih hidup dan menyatu dengan sang penarinya, yakni proses
inisiasi (penyucian) dan pesupati (menghidupkan). Biasanya, si penari topeng
Sidakarya yang telah mewinten memiliki satu topeng khusus untuk dirinya ngayah.
Satu hal lagi, pembuat topengnya pun melewati tahapan mewinten. Ida Bagus
Sudiksa (51), asal Banjar Jambe, Kerobokan Kaja, pun mengingatkan permintaan
membuat topeng Sidakarya ini tidak bisa sembarangan meminta. Menurut dia,
penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu menahan manusia untuk tidak
semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Ia beranggapan pendahulunya
telah memikirkan bagaimana agar manusia tidak sembarangan menebang atas nama
kesenian, budaya, atau adat. Karena itu, dari pemilihan kayu hingga
penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta hari baiknya dengan
tujuan agar alam tidak murka. Namun, ketika topeng sudah menjadi kerajinan yang
dibuat secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih kayu itu sudah cukup
umur sampai tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua demi kepentingan uang,
bahkan pariwisata. Wajar jika kemudian alam menjadi murka. Inilah salah satu
pesan topeng Sidakarya tentang alam. Waktu pembuatan topeng sakral ini pun
bervariasi, tergantung dari mood sang pengukirnya, bisa hanya tiga hari atau
sebulan. Sama halnya dengan Pak Nang Tesen, Sudiksa pun mendapatkan bakat
keturunan dari almarhum ayahnya, Ida Pedanda Gede Telaga. Mereka ini bukan
perajin, melainkan seniman yang telah melalui tahapan penyucian. Namun, bakat
ini bisa dipelajari dan tidak semuanya mendapatkan dari garis keturunan.
Hal
yang unik selama pembuatan topeng sakral, antara lain, adalah pengawetannya
yang harus direbus dengan kuah bumbu genep (bumbu dapur lengkap) selama 12 jam
tanpa putus. Meski demikian, lanjut Sudiksa yang juga dosen
manajemen pemasaran di Universitas Udayana itu, awet dan tidaknya topeng juga
tetap tidak lepas dari awal pencarian kayu cendana, pole, atau batang kamboja,
termasuk pemilihan tanggal penebangannya. Ia menambahkan, dari sejak ayahnya
puluhan tahun lalu, semua pembuatan topeng menggunakan ilmu logika.
Sayangnya,
bahan pengawetan alami ini tidak diikuti dengan pewarnaan alami. Sudiksa
mengatakan, pewarnaan alami tidak lagi memiliki kualitas sama kuat antara
puluhan tahun lalu dan sekarang. Karena itu, ia terpaksa menggantikan dengan
cat kimia dengan pemilihan kualitas nomor wahid. Topeng sakral selain topeng
Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng yang sengaja disakralkan dan
biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda, Barong, dan Irarung.
Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari atau waktu pementasan
sendiri. Semua topeng sakral ini pun diberikan banten dan doa-doa, terutama
ketika tumpek wayang, sebagai persembahan kepada Dewa Iswara. Di dalam
topeng Pajegan ada topeng yang mutlak harus ada, yakni topeng Sidakarya.
Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng Pajegan dengan
upacara keagamaan, maka topeng ini pun disebut Topeng Wali. Dramatari
Topeng hingga kini masih ada hampir di seluruh Bali.
2.3. Makna Filosofis Topeng Sidakarya Ditinjau Dari
Perspektif Pendidikan Hindu
Banyak
sekali unsur mendidik yang kita dapat temui dalam Topeng Sidakarya. Baik dari
sejarahnya, maupun dalam proses tariannya. Dalam sejarahnya, saat Brahmana
Keling melakukan perjalanan-perjalanan mulai dari perjalanan ke Madura, ke Bali
hingga ke Badanda (Sidakarya), banyak sekali bisa kita temui aspek-aspek
mendidik yang secara inplinsif mengandung pesan-pesan mulia kepada kita sebagai
manusia khususnya umat Hindu. Seperti pada awal perjalanan beliau ke Madura,
yang disebabkan karena raja di wilayah tersebut telah melupakan tradisi
persembahan tarianPepajegan yang biasanya dipersembahkan untuk para
leluhur. Dari sini kita bisa belajar bahwa kita tidak boleh melupakan tradisi
yang diwariskan oleh para leluhur kita meskipun kita sekarang telah memasuki
jaman modern. Tradisi leluhur harus tetap dijaga dan dilestarikan karena itu
adalah warisan yang sangat berharga untuk kita yang tidak bisa kita temui di
tempat lain. Dan kita juga harus selalu mengingat para leluhur kita yang telah
mewariskan beraneka ragam kearifan lokal yang saat ini menjaga kebanggaan kita
yang sekaligus membedakan kita dengan daerah lain.
Dilanjutkan
dengan saat beliau mendatangi Bali dengan maksud untuk ikut membantu pelaksaan
Karya Eka Dasa Ludra yang diselenggarakan oleh Raja Dalem Waturenggong
(Kerajaan Gelgel) yang masih saudaranya di Pura Besakih. Raja Waturenggong
tidak mau mengakui Brahmana Keling sebagai saudara karena penampilan beliau
yang lusuh seperti pengemis akibat dari perjalanan jauh yang beliau tempuh. Hal
itu membuat brahmana tersebut merasa terhina, dan akhirnya pergi dari tempat
itu. Dan tentunya dampaknya adalah Karya yang diadakan oleh raja tidak memberi
berkah terhadap kerajaan maupun rakyatnya, malah terjadi kekeringan dan bencana
yang melanda wilayahnya. Dari kejadian tersebut kita bisa petik hikmah dan
pembelajaran bahwa kita tidak boleh memperlakukan sesama ciptaanNya dengan
tidak baik. Semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan. Walaupun berbeda
kedudukan, status ekonomi maupun status sosial. Janganlah memandang orang dari
penampilannya saja akan tetapi kita juga harus memandang niat baik dan
kesungguhan orang lain.
Kemudian,
dari ritual tarian Topeng Sidakarya kita bisa mengambil beberapa nilai mendidik
yang bisa kita jadikan pembelajaran untuk kita semua. Pertama, sang penari yang
menarikan Topeng Sidakarya menghamburkan beras dalam bokor yang dipegangnya, yang
mengandung arti medana/bersedekah atau juga bisa diartikan “berbagi
kebahagiaan”. Pesan yang dapat kita tangkap adalah sebagai manusia kita harus
bisa berbagi dengan sesama. Tidak hanya mementingkan diri sendiri. Saat kita
mendapat rejeki, kita harus menyadari bahwa kita juga harus ingat dan membantu
sesama yang sedang kesusahan. Dan dalam tarian tersebut, sang penari juga
menangkap seorang anak kecil yang kemudian diberikannya uang, sebagai simbol
penyembuhan penyakit dan pemberian kesejahteraan pada umat. Hal ini mengajarkan
pada kita bahwa dana atau sedekah yang kita berikan kepada sesama yang sedang
kesusahan, akan memberikan kehidupan dan kesejahteraan bagi mereka. Karena kita
harus selalu peduli kepada sesama yang sedang membutuhkan pertolongan.
Secara
garis besarnya bila kita kaitkan dengan Yadnya yang kita lakukan, kita bisa
mengambil hikmah bahwa Yadnya yang kita selenggarakan harus dengan tujuan untuk
kesejahteraan dunia, kebahagiaan dan ketentraman semua makhluk. Kita tidak
boleh egois, hanya mendoakan diri sendiri tanpa perduli dengan sesama
ciptaan-Nya. Alangkah indahnya jika Yadnya yang kita lakukan bisa dinikmati
berkahnya oleh dunia dan semua makhluk ciptaan Tuhan.
BAB III
PENUTUP
3.1.Simpulan
Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan beberapa hal
penting yaitu sebagai berikut:
Demi
kesempurnaan upacara Yadnya, sebagai penutup rangkaian upacara dipentaskan Tari
Topeng Sidakarya yang dalam pentasnya dapat dibawakan dengan seorang diri (memajeg)
atau ditarikan oleh lebih dari satu orang tergantung keadaan. Dalam Tari Topeng
Sidakarya, tokoh penting yang ditampilkan adalah Tokoh Dang Hyang Nirartha
sebagai Pendeta, Dalem Waturenggong sebagai Penguasa/Raja dan Dalem Sidakarya
yang disebut sebagai Sang Tiga Sakti. Dengan ditampilkannya tarian Topeng
Sidakarya maka upacara Yadnya yang diselenggarakan dianggap telah sempurna dan
bisa memberikan berkah kesejahteraan dan kebahagiaan kepada semua makhluk.
Banyak
sekali nilai-nilai pendidikan yang bisa kita ambil dari tari Topeng Sidakarya,
antara lain: bahwa Yadnya yang kita lakukan haruslah dengan tujuan untuk
kesejahteraan dunia dan seluruh makhluk. Sebagai manusia, kita harus bisa
berbagi kebahagiaan dengan sesama, bahwa kita tidak boleh melupakan tradisi
warisan leluhur kita, dan juga kita harus memperlakukan sesama makhluk dengan
baik, tanpa memandang status ekonomi, sosial dan juga penampilannya.
3.2. Saran
Penulis
sangat menyadari bahwa tulisan ini masih sangat jauh dari kata sempurna, namun
demikian penulis berharap semoga tulisan ini bisa memberikan dampak positif dan
bermanfaat bagi pembaca. Namun penulis juga sangat terbuka apabila ada kritik
maupun saran dari pembaca demi penyempurnaan tulisan ini.